YESUS MENGHADAPI SENGSARA
Dalam kacamata manusia, siapakah yang tampak berkuasa: Yesus atau Pontius Pilatus? Jawabannya tentulah Pontius Pilatus. Ia adalah gubernur di Provinsi Yudea kala itu. Pilatus memiliki kekuasaan dan terbiasa mengadili orang. Di tangannya, ada seseorang yang bisa dihukum, atau malah dibebaskan. Keputusan Pilatus menjadi keputusan yang akan mewakili Kekaisaran Romawi.
Walau Pontius Pilatus tampak berkuasa, kekuasaannya ternyata sangat dipengaruhi oleh suara orang banyak. Pilatus sebenarnya tidak mendapati kesalahan apapun pada diri Yesus yang membuat-Nya layak menjalani hukuman mati. Namun, desakan dan teriakan orang banyak telah mengalahkan nurani seorang Pilatus. Pada akhirnya, Pilatus menyerahkan Yesus untuk disalibkan.
Di saat sengsara-Nya, Yesus bagaikan korban ‘tak berdaya. Ia menjadi korban dari kebencian para pemuka agama. Ia menjadi korban dari pemimpin yang linglung. Ia menjadi korban dari suara orang banyak yang merasa mewakili kebenaran. Namun, benarkah Yesus semata-mata adalah korban? Benarkah Yesus tidak berdaya saat semua ketidakadilan dan hinaan itu menerpa diri-Nya? Bukan! Ia bukan tidak bisa menghindar. Sebaliknya, Yesus memilih untuk menanggung derita. Dengan rela, Yesus menghadapi sengsara. Pilihan-Nya jelas menelanjangi kejahatan yang bersemayam dalam hati manusia. Namun, melawan semua kejahatan itu, Yesus menyatakan kebenaran yang ‘tak terbantahkan. Ia melawan bukan dengan kekerasan, melainkan dengan cinta yang Ia beri dalam seluruh kesadaran. Dalam sengsara Yesus, ada solidaritas-Nya yang ‘tak terperikan bagi manusia yang penuh dosa.
Mari bersama menghayati kerelaan-Nya, supaya dalam dunia yang semakin egois dan serakah ini, kita tidak terjebak pada kekuasaan dan kepuasan yang semu. Hidupilah makna pengurbanan Kristus, supaya kita dapat menjadi orang-orang yang memberi diri, sama seperti Kristus telah memberi diri-Nya. Rengkuhlah makna sengsara-Nya, supaya kita pun dapat menjadi kawan yang berbela rasa bagi sesama kita yang menderita. Selamat menghayati Minggu Pra-Paska ke-6.
Oleh : Pdt. Bernadeth Florenza da Lopez
Got something to say?