TETAP PERCAYA DI SAAT KRISIS
Iman atau percaya kita kepada Yesus Kristus sedang diuji. Berbagai tantangan baru menghampiri kita. Datangnya sangat cepat, pun bertubi-tubi. Tantangan dan persoalan itu bahkan menghajar pondasi iman kita. Tantangan baru itu sangat berbeda dengan yang dihadapi oleh generasi kekristenan masa lalu. Ada banyak tantangan baru. Untuk menghadapi tantangan baru itu kita tidak bisa sekedar mentransfer iman umat Kristen masa lalu. Kita harus memiliki strategi sendiri. Harus punya kearifan untuk mengantisipasi berbagai revolusi perubahan yang ada. Bila gagal mengembangkan kearifan, iman kita bisa goyah atau kita tidak mampu menjadi berkat.
Generasi pertama dan kedua kekristenan hidup dalam situasi yang sama sekali berbeda dari generasi masa kini. Persoalan dan tantangan yang dihadapi tidak sama. Pada masa lalu, orang Kristen dianggap salah satu sekte Yahudi yang dituding membawa ajaran sesat. Mereka pun harus mempertahankan imannya dari kejaran umat agama Yahudi. Mereka juga harus bersembunyi dari ancaman persekusi penjajah Romawi. Ancaman itu nyata. Bisa diidentifikasi. Meski demikian, umat Kristen masih bisa lari atau bersembunyi demi mempertahankan iman dan percaya mereka.
Pada masa kini, tantangan yang dihadapi umat Kristen, dan umat beragama lainnya, jauh berbeda. Tantangan baru ini ‘intangible’ alias tidak berwujud. Tantangan itu menciptakan ancaman yang menghantam langsung pondasi iman kita. Ada dua persoalan yang bisa menjadi ancaman besar bagi kita. Persoalan pertama adalah realitas bahwa kita hidup dalam kemajemukan agama. Setiap agama memiliki klaim kebenaran eksklusifnya masing-masing. Realitas yang baru itu membutuhkan ‘discernment’ atau kearifan untuk menentukan cara pandang dan sikap baru. Salah bersikap akan menyulut konflik dan pertumpahan darah antar penganut berbagai agama.
Di tengah berbagai klaim kebenaran itu kita harus berpegang memperkuat pondasi iman kepada Yesus Kristus. Pada saat yang sama, kita harus membuka diri bahkan membangun respek terhadap keyakinan umat lainnya. Fanatisme buta harus ditolak. Ekstremisme harus ditampik. Sebaliknya, kita butuh kematangan dan kerendahan hati dalam beragama sehingga bisa menciptakan persaudaraan di tengah keragaman.
Persoalan kedua adalah makin meningkatnya pengaruh Ateisme dan Agnotisisme di tengah masyarakat, terutama kaum muda. Ateisme adalah paham yang menolak keberadaan Allah. Agnotisime adalah paham yang tidak ‘peduli’ Allah itu ada atau Allah itu tidak ada. Ateisme dan Agnotisisme muncul karena dua hal. Pertama, karena kekecewaan orang pada agama. Maklum, agama sering muncul bukan sebagai ‘problem solver’ tetapi sebagai ‘problem maker’ alias pembuat masalah. Hal kedua, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa.
Kaum Ateis dan Agnostik percaya bahwa agama itu sudah usang. Agama tidak lagi relevan dan tidak penting. Mereka percaya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa menjawab persoalan apa pun. Kita tidak butuh Tuhan. Manusia bisa menjadi Tuhan atas diri dan nasibnya sendiri. Mereka yakin, ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa umat manusia pada keadilan dan kesejahteraan. Tentu saja harapan mereka terlalu berlebihan. Ini ilusi! Mereka lupa bahwa ilmu pengetahuan itu seperti dewa Janus yang berwajah ganda. Memang, ilmu pengetahuan dan teknologi bisa menghasilkan kesejahteraan, tetapi bisa bisa menciptakan bencana dan penindasan. Ledakan bom atom di Hiroshima dana Nagasaki menjadi penanda bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi bisa menghasilkan bencana.
Ada banyak persoalan lain yang bisa menggoyahkan iman kita. Tulisan singkat ini tidak akan mengelaborasi semuanya. Yang saya mau katakan adalah ini. Kita harus mengembangkan iman yang mampu menghadapi berbagai tantangan baru. Iman pada Yesus Kristus harus tetap kokoh. Tetapi, iman yang kuat tidak perlu membawa kita pada kecupetan berpikir dan fanatisme sempit.
Kita butuh iman yang kuat sekaligus rendah hati. Belajarlah kerendahan hati dari Yesus. Dia datang dan hadir di tengah kita bukan dalam kemegahan. Bukan juga dalam kehebatan. Yesus hadir dan lahir dalam kesederhanaan. Cara yang digunakan Yesus untuk hadir di tengah kita itu menunjukkan cintaNya yang luas merangkul siapa pun.
Oleh : Pdt.Albertus M. Patty
Got something to say?