KELUARGA YANG MEMILIKI HIDUP YANG BERDAMPAK
Saat Mother Theresa mendapatkan hadiah nobel, ia diberi satu pertanyaan oleh seorang wartawan, “Ibu Theresa, apakah yang bisa kami lakukan untuk dapat menyebarkan, mengkampanyekan perdamaian dunia?” Mendengar pertanyaan tersebut, Mother Teresa dengan singkat berkata, “Go home and love your family.” Pulanglah dan cintailah keluargamu.
Bukankah dunia ini sangat luas? Mengapa Mother Theresa justru meminta orang-orang untuk kembali ke rumah? Bukankah sebuah misi yang besar mengharuskan kita untuk pergi ke luar dan menjangkau sebanyak mungkin orang? Namun ternyata, apa yang diungkapkan oleh Mother Theresa punya kebenaran yang luar biasa. Betapa keluarga menjadi awal mula dari semuanya. Seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih dan pengertian, akan memiliki dorongan yang lebih untuk menerapkan dan membagikan nilai kasih itu pada sesama. Sebaliknya, seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang terbiasa pada pola-pola kekerasan dan penghakiman, akan cenderung membawa juga pengaruh tersebut dalam diri dan relasinya dengan orang lain. Keluarga-keluarga dan segala dinamika yang hadir di dalamnya, tanpa kita sadari, akan menghasilkan dampak bagi wajah masyarakat kita, bahkan bagi dunia ini.
Dalam berita Injil (Lukas 19:1-10), diceritakan tentang Zakheus, seorang Yahudi yang bekerja sebagai kepala pemungut cukai bagi pemerintahan Romawi. Di mata orang-orang Yahudi lainnya, betapa Zakheus merupakan seorang pengkhianat bangsa! Bukannya berada di pihak saudara sendiri, ia malah mengeruk keuntungan bersama dengan para penjajah! Meskipun Zakheus digambarkan sebagai orang yang kaya, besar kemungkinan ia adalah seseorang yang kesepian; sebab dalam relasi sosial, banyak orang mengucilkan dirinya.
Saat Tuhan Yesus melewati daerah Zakheus, begitu besar keinginan Zakheus untuk dapat melihat-Nya. Tidak tanggung-tanggung, keingintahuan Zakheus untuk melihat siapa Yesus, sampai membuatnya berlari mendahului orang banyak dan akhirnya memanjat sebuah pohon ara. Usahanya pun tidak sia-sia. Bukan hanya ia dapat melihat Yesus, tetapi Tuhan Yesus pun secara khusus berkata bahwa Ia ingin menumpang di rumahnya. Perjumpaan pribadi Zakheus dengan Tuhan membuatnya menyampaikan komitmen pertobatannya. Ia berkata, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” Di hadapan Tuhan Yesus yang menerimanya, Zakheus tidak berusaha membenarkan atau membela diri. Komitmen pertobatannya sekaligus menjadi pengakuannya bahwa dia memang orang berdosa, bahwa dia memang telah melakukan kesalahan. Penerimaan Tuhan Yesus membuat Zakheus bersedia untuk berubah. Dukungan Tuhan menyentuh hati Zakheus dan membuatnya berani bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya. Di akhir cerita, Tuhan Yesus pun berkata, “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.”
Maukah kita memiliki keluarga yang menghasilkan dampak positif bagi lingkungan di sekitar kita? Jika ya, mari memulainya dengan apa yang terjadi di rumah kita masing-masing. Seperti kasih dan penerimaan Tuhan Yesus pada Zakheus yang mendorongnya untuk bertobat, demikianlah kasih dan penerimaan yang kita sampaikan kepada anggota keluarga kita, dapat menjadi dorongan bagi terciptanya perubahan-perubahan positif di tengah keluarga kita sendiri, bahkan di tengah masyarakat kita. Prosesnya mungkin tidak selalu mudah. Namun, saat kasih hadir di tengah-tengah keluarga kita, demikianlah Tuhan sendiri hadir dan memimpin kita. Kiranya Tuhan membimbing kita semua.
Oleh : Pdt. Bernadeth Florenza da Lopez
Got something to say?