GOOD TO GREAT
Good to Great adalah buku karangan Jim Collins yang ditulis pada tahun 2001. Buku ini menjadi best seller. Jutaan eksemplar terjual. Isinya bagus dan menantang. Jim Collins mengatakan bahwa good musuh dari great. Maksudnya, bagus itu musuh besar dari hebat. Baik itu musuh besar terbaik. Kadang pemilik perusahan sudah puas saat pencapaian perusahannya sudah baik dan bagus. Lalu, pihak manajemen hanya mengulang saja apa yang rutin dilakukan. Toh, itu saja sudah sukses! Enggan berpikir kreatif. Malas berinovasi dan membuat terobosan baru.
Sikap berpuas diri ini merugikan perusahan tersebut. Ini mentalitas ‘comfort zone.’ Orang sering lupa bahwa masyarakat dan dunia sedang berubah dengan sangat cepat. Tuntutan dan keinginan masyarakat berbeda. Teknologi pun bertransformasi. Perusahan yang tidak menyesuaikan diri dengan perubahan dunia ini akan tertinggal jauh di belakang. Sementara perusahan lain yang sadar inovasi sudah ‘ngebut” dengan kopling gigi lima, perusahan bermental ‘comfort zone’ masih gunakan gigi satu. Ketinggalan abis. Cepat atau lambat perusahan seperti ini akan menjadi loyo. Tidak mampu bersaing, lalu ambruk.
Pertanyaan Penting
Ada beberapa perusahan yang dulunya hebat dan digjaya. Kini, perusahan-perusahan itu sudah terkubur. Kodak, misalnya. Perusahan ini bergerak dalam bidang fotografi. Di masa jayanya ia tidak tersaingi. Kodak mendominasi pasar fotografi. Kini Kodak hanya tinggal nama. Sudah bangkrut total. Hal yang sama dialami Revlon yang pernah mendominasi produk kecantikan bagi wanita. Dimana pun orang menggunakan Revlon. Kini, Revlon sekarat. Hutangnya bertumpuk. Perusahan McDonnell Douglas pun begitu. Dulu ia menguasai pasaran pesawat tempur. Kini terjungkal. Kalah berkompetisi. Akhirnya ia diakuisisi oleh Boeing, kompetitornya. Sony Erickson, perusahan gabungan Jepang dan Swedia, sempat merajai pasaran ponsel dunia. Pokoknya dulu top banget. Hampir semua pemegang ponsel memilih Sony Erickson. Namanya jaminan mutu. Kini, ponsel Sony Erickson lenyap. Orang lebih tertarik pada Samsung asal Korea atau Xiaomi dan Oppo asal China. Ironisnya, dulu merk-merk itu dipandang sebelah mata.
Jim Collins melakukan pertanyaan kritis. Pertanyaannya ini: mengapa ada perusahan kecil yang bisa berkembang menjadi sangat besar serta menguasai pasaran? Sebaliknya, mengapa perusahan raksasa yang tadinya digjaya menjadi lemah, dan malah bangkrut? Pertanyaan kritis ini mendorong Collins melakukan penelitian terhadap perusahan kecil yang menjadi great, dan perusahan great yang hancur terpuruk. Apa hasil penelitiannya?
Tiga Kunci Penting
Collins menyimpulkan bahwa paling sedikit ada tiga kunci penting agar perusahan atau organisasi bergerak dari good to great. Ketiga kunci penting itu adalah :
Pertama, tentang leadership. Perusahan atau organisasi yang bergerak dari good to great memiliki pemimpin yang rendah hati tetapi professional. Rendah hati berarti mampu membuka diri dan mengakomodasi masukkan orang lain serta mampu berkolaborasi dengan siapa pun. Pemimpin juga harus professional. Artinya memiliki komitmen dan tanggungjawab yang luar biasa. Pemimpin seperti ini selalu menggerakkan yang lain untuk bekerja dan bekerjasama. Dia selalu menciptakan kondisi yang ‘comfortable’ dimana semua bekerja dengan gembira. Kegembiraan menjadi pendorong dalam mengembangkan potensi dan kreatifitas semua orang. Mereka berlomba-lomba memberikan yang terbaik bagi perusahan.
Kunci kedua adalah ini. Yang terutama bagi pemimpin organisasi good to great ternyata bukanlah visi dan strategi. Bukan itu! Yang lebih penting bagi mereka adalah mencari orang yang tepat untuk bekerja dan menempatkan orang yang tepat dalam posisi-posisi yang pas. Ibarat rombongan yang bepergian ke luar kota dengan bus, pemimpin harus yakin bahwa di dalam bus itu orang yang tepat. Bila salah menempatkan orang di dalam bus maka sehebat apa pun visi dan strategi, bus tidak akan sampai tujuan. Mengapa? Karena para penumpang bus akan mengacaukan proses perjalanannya.
Kunci ketiga good to great adalah organisasi harus memahami berbagai perubahan yang terjadi di tengah masyarakat. Perusahan juga harus menyadari adanya revolusi teknologi yang sedang terjadi. Dengan memahami perubahan itu, pemimpin harus segera meresponsnya secara tepat dengan cara membuat terobosan dan inovasi agar kehadirannya tetap relevan dan signifikan.
Penutup
Meski penelitian Collins mengambil sample berbagai perusahan, tetapi hasil penelitiannya sangat berguna bagi organisasi apa pun, sekuler maupun keagamaan. Memang, kita semua tidak boleh terbuai dalam comfort zone. Gereja tidak boleh terjebak dalam rutinitas. Gereja harus terus melakukan terobosan dan inovasi agar pelayanannya semakin relevan bagi siapa pun dan bagi kemuliaanNya. Kerja keras yang kreatif, kerjasama dan inovasi harus menjadi karakter setiap orang, setiap perusahan dan setiap lembaga gereja yang ingin maju dan berkembang.
Got something to say?