CINTA AKAN RUMAH-MU MENGHANGUSKAN AKU
Pernah suatu waktu, saya berkunjung ke rumah salah satu anggota jemaat. Anggota jemaat ini bercerita bahwa Ibunya berumur 99 tahun ketika meninggal. Sang Ibu sebetulnya sudah lama tinggal di Amerika, tetapi kemudian memaksa untuk pulang ke Indonesia karena ingin meninggal di tanah Indonesia. Bagi sang Ibu, Indonesia bukan hanya sekedar tempat. Untuknya, Indonesia menyangkut kecintaannya, menyangkut asal usulnya, menyangkut identitasnya. Itulah sebabnya, meskipun beliau lama tinggal di negeri Paman Sam, ia tetap memilih untuk pulang.
Bagi orang Yahudi, Bait Allah merupakan simbol identitas yang sangat penting. Bagi mereka, Bait Allah bukan sekadar bangunan tempat beribadah. Narasi kehidupan mereka sebagai umat pilihan dan bagaimana Allah berkenan tinggal di tengah-tengah mereka, itulah yang diyakini oleh orang Yahudi lewat keberadaan Bait Allah di Yerusalem. Bait Allah bagi orang Yahudi merupakan pusat dunia, tempat di mana keilahian dan kemanusiaan bertemu. Itulah tempat di mana surga dan bumi terhubung. Di sanalah, mereka memelihara ritus-ritus keagamaan sebagai bentuk persembahan kepada Allah.
Ironisnya, walaupun begitu besar penghargaan orang Yahudi terhadap Bait Allah, praktek-praktek manipulatif ternyata juga tumbuh dalam hidup keagamaan yang dipelihara di sana. Saat itu, tidak hanya korban yang dijual dengan harga selangit. Menurut peraturan keagamaan Yahudi, laki-laki yang sudah berusia 20 tahun ke atas, harus membayar pajak/bea ke Bait Allah (Kel 30:13-14). Pajak itu harus dibayar menggunakan mata uang Yahudi atau Tyrian, sehingga mereka yang dari luar kota atau yang tidak memiliki mata uang tersebut harus menggunakan jasa penukaran uang. Di sinilah juga, orang-orang memanfaatkan situasi. Mereka memasang harga yang tinggi terhadap uang yang akan ditukarkan. Praktek-praktek memperkaya diri bersembunyi di balik tindakan-tindakan agama yang dianggap suci dan sakral.
Melihat itu semua, Yesus marah besar. Injil menceritakan bagaimana Yesus membuat cambuk dari tali lalu mengusir para pedagang hewan dan penukar uang yang duduk di situ. Hatinya begitu pedih melihat bagaimana orang diperas dan diperlakukan tidak adil demi nama Allah. Bagi-Nya, ibadah kepada Allah tidak pernah terlepas dari keadilan dan belarasa terhadap sesama. Cinta yang sejati akan Allah tidak pernah membuat kita terasing dari yang lain, apalagi bertindak curang dan manipulatif.
Bagaimana dengan hidupan keseharian kita? Sungguh sia-sia ketika kita rajin beribadah, tetapi enggan bertobat dari kebiasaan korup. Sungguh sia-sia ketika kita rajin berdoa, tetapi suka menindas dan memeras yang lain. Sungguh sia-sia ketika kita rajin memberi persembahan, tetapi suka bersikap manipulatif. Yesus ingin hubungan kita dengan Allah menjadi hubungan yang sejati dan penuh ketulusan, yang tercermin pula dalam hubungan kita terhadap sesama. Marilah kita merefleksikannya dalam Minggu Pra Paskah yang ketiga ini.
Oleh : Pdt. Bernadeth Florenza da Lopez
Got something to say?