Penutupan Rumah Ibadah

Dengan alasan telah melanggar Perber atau SKB 2 Menteri yaitu tidak adanya izin rumah ibadah, seorang oknum ketua RT di Lampung membubarkan ibadah yang diselenggarakan oleh umat Gereja Kristen Kemah Daud pada hari Minggu (19/2/2023). Aksi anarkis oknum ketua RT dan beberapa jajarannya itu diunggah ke media sosial dan sontak mendulang kecaman dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk umat Kristen.

Setelah kecaman muncul dari berbagai kalangan masyarakat, aparat keamanan segera bertindak dan menangkap oknum Ketua RT itu. Penangkapannya membuat banyak orang lega dan sangat gembira. Baru kali ini pemerintah sungguh hadir dan mampu bersikap tegas terhadap pelaku tindakan anarkis berjubah agama itu. Biasanya dalam berbagai kasus penutupan, pengrusakan atau penyerangan rumah ibadah tidak satupun pelaku yang ditangkap dan diganjar hukuman. Akibat kekurangtegasan ini, peristiwa serupa kerap terjadi. Sudah ratusan kali penyerangan brutal dan penutupan paksa terhadap rumah ibadah berbagai agama. Alasannya selalu sama yaitu pelanggaran terhadap SKB 2 Menteri. SKB 2 Menteri itu menjadi alat untuk menjustifikasi anarkisme. Bahkan sering tindakan anarkisme itu diawali dengan ancaman tegas dan dengan perencanaan jelas kapan penyerbuan itu akan dilakukan.

Pembiaran
Ketika penyerangan dan tindakan anarkis dilakukan, aparat keamanan sering tidak ada di tempat. Kalau pun ada, tindakan anarkis itu dibiarkan. Ada politik pembiaran. Penindasan dan kekerasan berlangsung tanpa perlindungan terhadap para korban. Jadi, penangkapan Ketua RT itu kejadian langka yang menggembirakan.

Sayangnya, beberapa waktu kemudian, aparat keamanan membebaskannya. Alasannya tidak cukup bukti untuk diajukan ke pengadilan. Waaah…! Padahal peristiwa dan kejadiannya sangat jelas terekam dalam video. Banyak orang ‘bengong’ dengan keputusan itu. Jelas dalam dunia hukum kita, kebenaran telah diputarbalikan. Lalu, apa kebenaran itu? Dalam era post-truth ini, setiap orang bisa menciptakan berbagai versi kebenaran. Ironisnya, kebohongan yang terus-menerus dilesakkan di dalam kesadaran masyarakat lama-lama menjadi kebenaran yang diyakini.

Situasi anarkis yang diuraikan di atas mengusik kita untuk bertanya: apa sesungguhnya yang sedang terjadi? Ada banyak jawaban! Beberapa bisa disampaikan di sini. Pertama, sedang terjadi politik pembiaran yaitu dibiarkannya aksi anarkisme dan kekerasan atas nama Tuhan dan agama.

Dalam banyak kasus seperti ini, para penyerbu tidak dikriminalisasi. Ironisnya, yang diserbu dan yang menjadi korban yang justru sering dikriminalkan. Kebenaran dan keadilan dijungkirbalikan. Negara seolah berjalan tanpa hukum. Kedua, renggangnya kohesi sosial terutama relasi umat beragama. Masyarakat terkotak-kotak atas nama etnik dan agama. Sebagian masyarakat hidup dalam ‘tembok-tembok’ sempit agama dan etniknya masing-masing. Agama menjadi sumber kebencian. Bila ajaran agama menjadi sumber kebencian dan permusuhan, lalu apa gunanya agama?

Sebagian masyarakat kita tidak menganggap umat lain sebagai rekan atau saudara yang bisa diajak bekerjasama, tetapi sebagai ancaman yang harus dihancurkan. Menguatnya semangat fundamentalisme dan radikalisme agama yang sempit menunjukkan gejala menipisnya semangat nasionalisme kebangsaan. Konflik horizontal makin sering merebak. Virus radikalisme ini menjadi epidemi yang menyebar di kalangan rakyat, pelajar dan mahasiswa, di birokrasi pemerintahan, dan bahkan di kalangan elit politik. Hal yang mengkhawatirkan adalah ketika virus radikalisme yang memantik anarkisme ini justru muncul kembali saat perhelatan Pemilu 2024.

Pekerjaan Rumah
Sejak jaman kemerdekaan sampai masa reformasi lebih dari dua ribu lima ratus rumah ibadah yang diserbu dan ditutup paksa. Ironisnya, persentase terbesar penutupan gereja justru terjadi pada masa reformasi. Apa artinya? Artinya pada saat ini realitas konteks bermasyarakat dan bernegara belum sungguh OK.

Oleh karena itu, kita punya pekerjaan rumah yang sangat berat. Pekerjaan rumah itu ada tiga. Pertama, kita semua harus berupaya keras merekatkan persatuan dan solidaritas masyarakat yang beranekaragam ini. Tugas dan panggilan utama kita saat ini adalah berupaya membangun semangat cinta kasih, keadilan dan perdamaian di tengah bangsa yang terancam virus permusuhan dan perpecahan.

Kedua, bersama dengan golongan masyarakat lainnya, kita harus berupaya keras mendorong pemerintah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Konstitusi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945. Jangan berdiam diri dan bersikap apatis. Persatuan dan eksistensi bangsa ini tergantung pada karya dan kontribusi kita.

Ketiga, panggilan beribadah kita bukan lagi hanya ritual di dalam rumah ibadah, tetapi juga di dalam kehidupan nyata di tengah ketakutan dan kecemasan banyak orang demi mewujudkan harapan dan cita-cita bangsa yaitu kehidupan yang dipenuhi dengan religiusitas, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Oleh : Pdt. Albertus M. Patty


No Replies to "Penutupan Rumah Ibadah"


    Got something to say?

    Some html is OK