Media Sosial dan Pemilu 2024

Dalam pemilihan umum, pengaruh media sangat besar. Media sosial maupun media massa sangat mempengaruhi kehidupan kita. Kini, pengaruh itu semakin membesar karena teknologi digital terus berkembang. Efeknya, terlalu banyak informasi yang kita peroleh dengan mudah. Celakanya, tidak semua informasi itu bermanfaat. Banyak juga informasi ‘sampah’. Tidak semua informasi itu benar. Banyak informasi bohong beredar demi kepentingan politik. Dalam Pemilu 2024 nanti kemungkinan besar akan ada banyak disinformasi atau malinformasi yang mengacaukan proses Pemilu dan membahayakan keutuhan bangsa ini. Nah, bagaimana kita meresponsnya?

Revolusi Digital Teknologi
Dunia ini sedang mengalami revolusi teknologi digital. Klaus Schwab, dalam buku Revolusi Teknologi Digital, mengatakan bahwa revolusi teknologi digital telah merubah banyak hal: cara kita hidup, cara kita bekerja dan cara kita berinteraksi dengan sesama. Kini kita semua menjadi manusia teknologi. Kita bagian dari teknologi. Kita tidak mungkin hidup tanpanya. Semua informasi dan data kita untuk bertransaksi di mana pun ada di gadget yang kita pegang.

Salah satu perubahan yang sangat mencolok adalah cara kita berinteraksi dengan handphone atau gadget. Konon, orang Indonesia menggunakan internet 7 jam lebih. 3 jam digunakan untuk media sosial alias ‘medsos’. Pengaruh medsos dan internet sangat besar dalam segala hal, termasuk dalam politik. Kita bisa ambil contoh. Revolusi politik di Timur Tengah yang dinamakan Arab Spring terjadi karena pengaruh media sosial dan internet. Berbagai informasi menyebar dengan sangat cepat. Orang bisa cepat saling mengontak dan saling mengorganisasi diri untuk melakukan protes.

Kecepatan mendapatkan informasi yang sangat cepat menimbulkan persoalan baru yaitu tidak selalu informasi itu benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Banyak informasi bohong atau hoax, yang disebar baik sengaja maupun tidak sengaja. Dalam dunia politik, informasi bohong yang disebar dengan sengaja biasanya bertujuan untuk menghancurkan popularitas dan elektabilitas politisi atau partai lawannya.

Malinformasi
Ada dua contoh penyalahgunaan media sosial dalam politik. Contoh pertama adalah Pemilu 2016 di Amerika Serikat. Saat itu yang bertarung adalah Donald Trump dan Hillary Clinton. Sebagai kandidat partai Demokrat Hillary Clinton sudah unggul di hampir semua survei. Ketika orang sudah berpikir Clinton sudah pasti menang munculah skandal pizzagate yang menimpa Hillary Cinton. Dalam skandal pizzagate yang tersebar cepat itu diinformasikan bahwa Hilary Clinton melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di ruang bawah (basement) sebuah restaurant pizza. Informasi tentang skandal itu dipercaya masyarakat Amerika Serikat. Skandal itu menghancurkan reputasi Clinton dan menurunkan elektabilitasnya. Setelah diselidiki ternyata informasi yang disebar itu hanya hoax atau informasi bohong. Tidak ada skandal pizazagate. Meski sudah melakukan klarifikasi, suara Clinton tetap anjlok. Trump pun menang dalam Pemilu itu.
Contoh kedua dalam Pemilu Indonesia tahun 2019. Saat itu, sebagai petahana Jokowi dijadikan sasaran tembak informasi bohong alias malinformasi. Ada malinformasi yang menyebutkan Jokowi itu anggota PKI, bahwa Jokowi keturunan China, seorang beragama Kristen. Dan ada informasi tentang kiriman 7 kontainer dari China yang setiap kontainernya berisi 10 juta surat suara. Setiap surat suara sudah dicoblos untuk memenangkan Jokowi. Meskipun menjadi korban hoax, Jokowi tetap menang dalam Pemilu. Beda nasib dengan Hillary Clinton. Artinya, bila dalam kasus Clinton, pemilih Amerika Serikat ‘termakan’ oleh malinformasi. Dalam kasus Jokowi, pemilih Indonesia masih cukup solid sehingga tidak tergoda oleh malinformasi itu.

Langkah-langkah Penting
Lalu apa yang harus dilakukan agar kita mampu mewaspadai malinformasi dan berita hoax yang semakin banyak? Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, perlu ada literasi media untuk umat dan untuk masyarakat secara umum. Tujuannya agar masyarakat mampu bersikap kritis terhadap informasi yang diterima dan tidak terlalu cepat menyebar informasi sebelum mengecek kebenaran beritanya. Kedua, media mainstream atau media massa memainkan peran sebagai filter yang memberikan informasi yang akurat dan professional. Ketiga, perlu ada tim yang menolong masyarakat untuk memverifikasi informasi yang ada: apakah benar atau hoax. Dan terakhir, perlu ada penegakkan hukum yang lebih tegas terhadap penyebar hoax, terutama yang isunya memecah-belah masyarakat. Banyak negara yang hancur berantakan gara-gara informasi hoax.

Sebagai umat Kristen, kita harus berpartisipasi melakukan pencegahan terhadap berbagai malinformasi dan disinformasi yang disebar oleh orang-orang jahat. Hoax dan kebohongan yang terus disebar berpotensi menghancurkan bangsa dan negara yang Tuhan sudah anugerahkan kepada kita. Indonesia harus tetap utuh, makin kuat dan makin adil dan damai. Tuhan berkati.

 

Bandung
19 Juli 2023

 

Oleh : Pdt. Albertus M. Patty


No Replies to "Media Sosial dan Pemilu 2024"


    Got something to say?

    Some html is OK