BENCANA ALAM ADALAH AZAB?

Tiba-tiba saja bangsa kita digebuk oleh berbagai bencana alam. Ada gempa bumi di Cianjur, disusul gempa bumi di Garut. Beberapa hari lalu Gunung Semeru di Malang meletus, lalu ada banjir di Jawa Tengah dan Kalimantan. Yang paling parah gempa bumi di Cianjur. Ada 327 yang tewas, ribuan orang luka ringan dan luka berat, ribuan rumah ambruk, dan ada tanah longsor yang menelan puluhan rumah beserta dengan isinya.
Berbagai bencana alam itu membuat orang khawatir. Banyak yang mengajukan pertanyaan teologis: mengapa Allah membiarkan bencana ini terjadi? Pertanyaan teologis itu memunculkan berbagai mitos. Tujuan mitos itu untuk menjawab penyebab bencana. Nah, tulisan pendek ini merespons berbagai mitos yang muncul.

Mitos Teodise
Menarik, di tengah bencana alam dengan banyak korban, orang tergerak membuat mitos. Ada bermacam-macam mitos. Ada mitos sekuler, tetapi terutama yang kontennya agamis. Misalnya, ada yang bilang rentetan bencana alam ini menandakan bahwa dunia akan segera kiamat. Yesus segera datang! Manusia harus bertobat dari dosa dan kesalahannya. Ada mitos yang mengatakan bahwa bencana alam terjadi karena Indonesia tidak menerapkan sistem Khilafah. Jadi mitos itu adalah azab alias hukuman Allah bagi manusia berdosa. Pembuat mitos yakin bila sistem khilafah diterapkan, bencana alam tidak akan datang. Ini absurd!

Saat tsunami di Aceh tahun 2004 pun muncul berbagai mitos. Ada mitos Aceh dilanda tsunami karena tidak menerapkan sistem syariah. Ada juga mitos, Allah ‘ngamuk’ lalu mengirim tsunami kepada orang Aceh yang doyan menanam ganja. Jadi, orang Aceh harus bertobat. Lagi-lagi mitos itu berbicara tentang azab Allah kepada manusia berdosa. Ada juga mitos berbau ‘politis.’ Tsunami di Aceh terjadi karena orang Aceh menolak NKRI. Ada-ada saja!

Mitos adalah cerita asal usul suatu bangsa, dewa, pahlawan atau bisa juga cerita yang menerangkan asal usul suatu kejadian, termasuk bencana alam. Biasanya mitos dihubungkan dengan yang gaib, Sang Maha Kuasa. Namanya juga mitos. Selalu abstrak dan spekulatif. Kebanyakan mitos berisi teodise (atau teodisi) yaitu teologi tentang keadilan Allah.

Teologi Teodise ini berpegang pada prinsip Allah itu adil. Allah punya niat baik dalam peristiwa apa pun di dunia ini. Sebaliknya, manusia itu jahat dan berdosa. Bencana adalah ‘peringatan’ Allah terhadap manusia yang jahat. Jadi, teologi ini berisi pembelaan terhadap keadilan Allah. Sebaliknya, teologi ini menyalahkan korban bencana. Itulah yang terjadi di mana pun, termasuk Aceh dan di Cianjur. Mitos teodise ini punya kelemahan. Dia tidak mampu menjawab pertanyaan: bila bencana merupakan azab Allah kepada orang jahat dan berdosa, mengapa anak-anak dan bahkan bayi yang tidak berdosa ikut menderita dan mati?

Dari Spekulasi Ke Action
Saya tidak akan mengelaborasi lebih dalam soal Teodise dalam tulisan pendek ini. Pesan saya melalui tulisan ini adalah agar kita merespons setiap bencana dengan realistis. Maksudnya ini. Kita tahu bahwa rentetan kejadian alam seperti gempa bumi, banjir atau tsunami bisa terjadi kapan pun. Peristiwa alam itu terjadi karena kita semua tinggal dan hidup dalam dunia yang rapuh dan tidak sempurna. Dalam kerapuhan dunia ini, apa pun bisa terjadi. Bila kita tidak siap, peristiwa alam ‘biasa’ berubah menjadi bencana. Tugas manusia adalah mengantisipasi dan mengendalikannya.

Di Jepang, struktur dan pondasi rumah disesuaikan dengan kondisi daerah gempa. Saat gempa bumi tidak ada korban jiwa. Sebaliknya, di daerah Cianjur struktur dan pondasi perumahan tidak disiapkan mengantisipasi gempa. Efeknya, gempa berubah menjadi bencana bagi manusia. Contoh lain. Pada waktu lalu, saat curah hujan di Jakarta sangat tinggi atau saat mendapatkan kiriman air dari Bogor, Jakarta pasti banjir. Sekarang, Heru Budi Hartono, Penjabat Gubernur DKI Jakarta, bekerja dengan baik. Sungai Ciliwung dibersihkan, diperbesar dan diperdalam. Gorong-gorong dan parit mampet dibereskan. Efeknya, banjir dikendalikan. Potensi bencana diminimalisir.

Betapa pun manusia mengantisipasi, bencana bisa datang kapan saja. Maklum kita semua memang vulnerable, rapuh. Nah, di tengah rentetan bencana kita tidak membutuhkan teologi yang abstrak dan spekulatif. Kita juga tidak butuh teologi yang menyalahkan korban.

Yang dibutuhkan adalah teologi yang membangun cinta dan solidaritas dengan siapa pun, terutama yang menjadi korban. Kita butuh teologi yang mengubah kata-kata abstrak dan spekulatif menjadi tindakan atau aksi kemanusiaan yang nyata. Bencana terbesar bagi kita semua adalah ketika justru berdiam diri dan sibuk menyalahkan korban yang sedang menderita.

 

Oleh : Pdt. Albertus M. Patty


No Replies to "BENCANA ALAM ADALAH AZAB?"


    Got something to say?

    Some html is OK