TETAP KOKOH DAN TEGUH
sering mendengar keluhan bernada protes. Isinya meminta gereja agar tidak berpolitik. Keluhan ini wajar karena terdapat kenyataan yang memprihatinkan. Apa? Politisi sering menyalahgunakan politik untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Politisi juga sering menetapkan kebijakan yang memperkuat kekuasaannya atau menindas rakyatnya sendiri. Segala cara bisa dihalalkan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Efeknya, suatu bangsa bisa terjebak dalam polarisasi tajam yang memicu konflik berkepanjangan.
Terlepas dari realitas kotor yang mencemari dunia politik, kita pun harus tahu satu hal penting ini. Politik adalah arena tempat Tuhan berkarya. Nah, gereja pun terpanggil untuk berkarya dalam dunia politik. Tetapi harus diingat, karya gereja dalam dunia politik bukan untuk mencari kekuasaan. Karya gereja adalah untuk mentransformasi dunia politik demi keadilan, kesetaraan, perdamaian dan kesejahteraan bangsa dan umat manusia. Kita berharap, para politisi yang terpilih dalam Pemilu lalu sadar pada panggilannya untuk berkarya demi kemaslahatan semua. Hal positif seperti ini pernah terjadi dalam dunia politik di Inggris.
Kokohnya William Wilberforce
William Wilberforce, politikus Inggris, berkarya pada abad ke-18. Dia sadar betul pada panggilan kristianinya. Dia politisi yang kokoh dalam kesetiaannya kepada Tuhan. Baginya, iman dan politik tidak terpisahkan. Bagi Wilberforce perdagangan budak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bertentangan dengan kehendak Tuhan. Dia pun berjuang melawan perdagangan budak. Tujuannya mulia: menghapus perbudakan di seluruh kekaisaran Inggris. Perjuangan ini tidak mudah. Wilberforce menghadapi banyak tantangan.
Wilberforce sadar bahwa perjuangan menghapus perbudakan pasti mendapatkan perlawanan keras dari berbagai arah. Dia ditentang para pedagang budak. Dimusuhi rekan-rekan politisi yang meraih keuntungan dalam perdagangan manusia. Dibenci para pejabat dan penguasa Inggris. Dia diejek, ditolak, dan bahkan diancam. Meski menghadapi resiko besar yang membahayakan nyawanya, Wilberforce maju terus. Dia tetap kokoh dan teguh.
Kunci kesetiaan Wilberforce pada panggilannya adalah Tuhan sendiri. Ya, Tuhan yang selalu disapanya di dalam doa-doanya. Wilberforce tetap kokoh dan teguh. Dia tahu bahwa perjuangan menegakkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan adalah panggilan yang Tuhan percayakan kepadanya. Semua orang diciptakan setara di hadapan Tuhan. Semua orang adalah the image of God. Itulah keyakinannya.
Setelah perjuangan keras lebih dari dua dekade, Parlemen Inggris mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Perdagangan Budak pada tahun 1807. Ini kemenangan awal yang besar. Wilberforce belum puas. Undang-undang itu baru menghapus perdagangan budak. Belum menghapus perbudakan. Wilberforce terus giat berjuang sampai perbudakan tuntas. Akhirnya tahun 1833, pemerintah Inggris mensahkan Undang-Undang Penghapusan Perbudakan dari seluruh kekaisaran Inggris. Wiberforce sangat bersyukur. Tiga hari setelah undang-undang penghapusan perbudakan disahkan, Wilberforce menghembuskan nafas terakhirnya. Dia kembali ke Rumah Bapa-Nya sebagai pemenang. He is the champion of life.
Dalam dunia yang kotor ini, kita dipanggil untuk memperjuangkan nilai-nilai Injil dalam iman dan keteguhan. Perjuangan kita pasti akan mendapatkan banyak tantangan dan penolakan. Bahkan kadang dari orang-orang terdekat kita seperti yang Yesus alami saat orang-orang sekampungnya menolaknya (Markus6:1-13). Wilberforce menunjukkan bahwa komitmen perjuangannya diperteguh oleh imannya. Tetapi komitmen butuh konsistensi untuk terus melangkah maju. Tanpa konsistensi, komitmen menguap di tengah jalan. Konsistensi membutuhkan keberanian dan daya tahan yang kuat dan kokoh. Daya tahan itu hanya didapat ketika kita bersandar pada Tuhan, Sang penyelamat kita.
Oleh : Pdt. Albertus M. Patty
Got something to say?