POLITIK IDENTITAS DAN IDENTITAS POLITIK
Politik adalah soal yang harus juga digumuli oleh gereja. Mengapa demikian? Karena politik menentukan mati dan hidupnya sebuah bangsa. Politik menentukan kebijakan yang diambil itu memperkuat keadilan, kesetaraan dan perdamaian atau justru menciptakan diskriminasi, ketidakadilan dan penindasan terhadap warga negara lain. Pemilu sudah makin mendekat. Kita harus mulai bicara tentang politik. Tentu saja membicarakan dalam perspektif seorang pendeta Kristen yang prihatin dengan kecenderungan beberapa politisi yang, demi nafsunya pada kekuasaan, berpotensi membawa bangsa ini pada perpecahan dan kehancuran.
Nah, ada politisi mengatakan sesuatu yang menarik. Di hadapan wartawan, politisi ini menegaskan bahwa “Dalam Pemilu nanti politik identitas sulit dihilangkan. Pasti akan ada politik identitas.” Maksudnya, katanya, kalau yang bertarung laki-laki dan perempuan maka ada identitas yang mengemuka antara laki-laki dan perempuan. Kalau calonnya berbeda agama atau berbeda etnik, maka pasti mengemuka perbedaan agama atau etnik. Pernyataan ini menegaskan bahwa sang politisi belum bisa membedakan antara identitas politik dan politik identitas. Contoh yang dikemukakannya adalah identitas politik, bukan politik identitas.
Perempuan atau laki-laki adalah identitas politik. Politik identitas dimulai saat seseorang atau sekelompok orang mengekspolitasi isu gender yang sifatnyapatriarki. Misalnya mengatakan semua perempuan lemah karena itu perempuan tidak layak jadi Presiden.
Menjadi Jawa, Tionghoa, Arab, Papua atau Sunda adalah identitas politik. Tetapi identitas politik bermetamorfosa menjadi politik identitas saat seseorang mulai mengekspolitasi isu etnis dengan merendahkan dan mendeligitimasi etnis lawan politiknya.
Demikian juga ini. Agama yang dianut seorang politisi adalah identitas politik. Nah, politik identitas dimulai ketika demi memperoleh dominasi dan hegemoni politik, ‘competitor-nya’ mengekspolitasi isu agama, apalagi dengan mengeksploitasi ayat-ayat suci yang ditafsir untuk melegitimasi dan merendahkan agama lawan politiknya dan kelompok agama lain.
Politik Identitas
Memang benar, politik identitas itu tidak akan hilang dari dunia politik. Seharusnya, menurut saya, jangan hilang asalkan politik identitas yang dipraktekkan bersifat positif. Nah, Francis Fukuyama mengemukakan bahwa pada dasarnya politik identitas ada dua. Ada yang positif, tetapi ada juga yang negatif.
Pertama, ada politik identitas yang memperjuangkan kesetaraan hukum, ekonomi dan politik untuk gender, etnik atau kelompok agama yang mengalami penindasan dan ketidakadilan. Politik identitas seperti ini positif dan seharusnyatetap ada selama masih ada penindasan dan ketidakadilan terhadap sesama warga negara dan sesama manusia.
Tetapi ada politik identitas yang kedua. Tujuannya memperoleh dominasi dan hegemoni politik, hukum dan budaya terhadap kelompok-kelompok gender, etnik, atau agama-agama lain. Jelas, menurut Fukuyama, ini politik identitas negatif yang harus ditolak. Ia menghasilkan diskriminasi, ketidakadilan, perpecahan dan konflik, bahkan berpotensi menghancur leburkan suatu negara.
Perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan hak politik dalam Pemilu. Perjuangan penyandang disabilitas untuk memperoleh hak-hak mereka. Perjuangan kesetaraan kaum kulit hitam yang tertindas di Afrika Selatan. Perjuangan agama-agama lokal di Indonesia untuk memperoleh pengakuan adalah politik identitas positif. Ini politik identitas dari kaum ‘kelas bawah’ yang termajinalkan. Ini harus tetap ada!
Sebaliknya, kebijakan rezim Nazi Hitler yang demi kejayaan dan hegemoni etnik Arya menindas dan membinasakan kaum disable dan melakukan ethnic cleansing terhadap Yahudi di Jerman adalah politik identitas. Konflik berdarah-darah yang memecah-belah Uni Soviet, Yugoslavia, India dan Sudan adalah efek dari politik identitas. Kemandekan perkembangan Pakistan, kehancuran Irak dan kebijakan bengis dan tidakberperikemanusiaan Rezim otoriter Afghanistan terhadap rakyatnya sendiri, terutama kaum perempuan adalah karena efek politik identitas. Contoh di atas itu adalah politik identitas negatif yang bengis, sektarian, parokhial dan tidak berperikemanusiaan. Politik identitas yang negatif sangat destruktif. Oleh karena itu seharusnya kita tolak.
Kecenderungan beberapa politisi Indonesia yang menyalahgunakan agama demi kepentingan politiknya pun harus tegas ditolak. Alasannya dua. Pertama, politik identitas jenis ini meredusir agama sebagai instrumen nafsu kekuasaan politik. Ini penistaan terhadap kesucian agama. Dan kedua, politik identitas ini menghadirkan kembali jiwa absolutisme dan otoritarianisme dengan cara yang jauh lebih berbahaya karena dijustifikasi oleh penafsiran agama.
Pemerintah harus bersikap tegas terhadap politik identitas ini. Sikap tegas bukanlah pilihan, tetapi keharusan karena yang dipertaruhkan adalah eksistensi dan masa depan bangsa ini. Kita semua pun harus kritis dan menolak tegas politik identitas negatif ini.
Bila kita semua mengabaikan potensi destruktifnya, Indonesia akan bernasib sama seperti Sudan, Uni Soviet, Irak dan Yugoslavia yang hancur lebur seperti bubur. Negara-negara itu hancur bukan oleh musuh dari luar, tetapi oleh kerapuhan dalam dirinya sendiri.-
Oleh : Pdt. Albertus M. Patty
Got something to say?