MENJADI PEMIMPIN = MENJADI HAMBA

Suatu kali Yakobus dan Yohanes beserta ibu mereka datang pada Yesus (Matius 20:20-28 dan Markus 10:35-45). Mereka meminta agar kelak diijinkan duduk di kiri dan kanan Tuhan Yesus dalam kerajaan-Nya. Dengan kata lain, mereka ingin turut memerintah bersama Tuhan Yesus, memiliki kedudukan dan kekuasaan.

Yesus tidak memberikan jawaban tentang hal itu. Ia justru berkata : “Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa bertindak sebagai tuan atas rakyatnya, dan para pembesarnya bertindak sewenang-wenang atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Siapa saja yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu” (Matius 20:25-27).

Mengamati jawaban Yesus, kita jadi mengerti bahwa menjadi seorang pemimpin bukan berarti menjadi penguasa yang memerintah, tetapi menjadi hamba yang melayani. Bukan yang berada di atas gerobak, tetapi mau bersama-sama dengan mereka yang menarik atau mendorongnya.

Dan Yesus memberikan contoh. Salah satunya adalah ketika Ia membasuh kaki murid-murid-Nya: Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu. (Yohanes 13:4-5).

Tuhan Yesus yang sangat dihormati oleh murid-murid, segera menanggalkan jubah-Nya lalu mengikatkan sehelai kain pada pinggang-Nya sebagai tanda bahwa Dia memposisikan diri sebagai hamba yang siap melayani.

Apakah itu hebat? Setiap orang bisa melakukannya. Malah, tindakan yang terkesan heroik itu bisa berubah menjadi hanya sebatas simbol. Orang-orang mau dengan rela melakukan itu bisa saja didasari motivasi agar dirinya terlihat hebat, terkesan egaliter (merakyat).

Yesus tidak seperti itu. Salib adalah bukti bahwa Ia tidak sekedar pemimpin yang rela menanggalkan jubah-Nya, mau berjongkok dan tangan-Nya dikotori debu, tetapi juga Ia rela melepas harga diri, ego, kesombongan serta segala macam atribut yang menjadi kebanggaan kita, untuk kemudian menjadi seorang hamba yang melayani. Inilah yang membuat Paulus begitu terkesan, sehingga ia memberikan refleksi tentang diri Yesus sebagai pemimpin yang menghamba: “… yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Filipi 2:6-8).

Menjadi hamba bukan berbicara tentang aktifitas fisik tetapi berbicara tentang KERENDAHAN HATI. Pemimpin yang tidak rendah hati akan cenderung semena-mena, memandang remeh, tidak menghargai orang yang dipimpinnya tetapi hanya menuntut dihormati dan memanfaatkan segalanya demi meningkatkan kredibilitasnya. Kerendahan hati juga berbicara tentang kerelaan melihat orang yang kita pimpin menjadi besar, bahkan melebihi diri kita.

Menjadi pemimpin adalah melayani, bukan dilayani. Memberi teladan, bukan memerintah dengan semena-mena.

Sebagai pemimpin, janganlah kita menuntut dilayani dan dihargai karena ‘SIAPA kita‘ dan ‘APA POSISI kita‘, tetapi mari memberi TELADAN dalam setiap perkataan dan perbuatan. Dengan demikian orang akan menghormati kita bukan karena keharusan, tetapi karena rasa hormat dari hati mereka yang terdalam.

 

Oleh : Pdt. Wee Willyanto


No Replies to "MENJADI PEMIMPIN = MENJADI HAMBA"


    Got something to say?

    Some html is OK