MEMILIH MENJADI MURID, BUKAN FOLLOWERS
Dalam kehidupan modern yang dipenuhi hiruk-pikuk media sosial, istilah followers menjadi sesuatu yang sangat akrab bagi kita. Kita mengikuti akun tertentu, entah karena kagum, penasaran, atau sekadar ingin tahu. Tetapi, menjadi followers tidak menuntut banyak komitmen; kita bisa dengan mudah menekan tombol “ikuti”, lalu meninggalkannya kapan saja bila sudah bosan atau merasa tidak sesuai lagi. Pertanyaannya: apakah hubungan kita dengan Yesus selama ini hanya sebatas seperti itu—sekadar menjadi pengikut yang mudah terpikat namun juga mudah pergi? Atau sungguh-sungguh menjadi murid yang setia?
Yesus, dalam Lukas 14:25-33, tidak pernah menutup-nutupi bahwa menjadi murid-Nya memiliki konsekuensi yang berat. Ia berbicara tentang memikul salib, tentang rela melepaskan segala sesuatu, bahkan hubungan terdekat, demi kesetiaan kepada-Nya. Kata yang dipakai adalah mathetes, yang berarti “murid”, bukan sekadar pengikut. Menjadi murid berarti belajar, meneladani, dan hidup dalam ajaran Sang Guru, sekalipun itu menuntut pengorbanan. Namun, Yesus tidak pernah memaksa; Ia hanya mengundang, memberi pilihan. Tetapi pilihan itu harus disertai kesadaran penuh akan tanggung jawabnya.
Kita bisa melihat teladan nyata dalam surat Paulus kepada Filemon. Di sana, Paulus mendorong Filemon untuk menerima Onesimus, hambanya yang dahulu melarikan diri, bukan lagi sebagai budak melainkan sebagai saudara dalam Kristus. Paulus tahu bahwa pilihan itu tidak mudah — Filemon harus mengesampingkan hak-hak sosialnya, bahkan mungkin reputasinya. Tetapi justru itulah tanda nyata dari seorang murid: bersedia membiarkan kasih Kristus mengubah cara pandangnya terhadap orang lain, sekalipun menuntut pengorbanan pribadi.
Ketika kita menengok keadaan bangsa kita saat ini, kita menyaksikan gelombang demonstrasi di berbagai kota. Banyak masyarakat menuntut perubahan, menuntut keadilan, menuntut kejujuran pemerintah di tengah maraknya kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kekerasan hukum. Suara-suara itu adalah cerminan dari kerinduan akan sebuah bangsa yang hidup benar dan adil. Di tengah realitas ini, murid Kristus dipanggil bukan hanya untuk hidup benar secara pribadi tetapi juga untuk berani menyuarakan kebenaran dan keadilan Tuhan, meskipun itu tidak populer. Menjadi murid berarti tidak tinggal dalam zona nyaman, tidak menutup mata terhadap ketidakadilan, dan tidak membiarkan diri terjebak dalam ketidakpedulian.
Kita mudah sekali menjadi followers Yesus di saat suasana ibadah penuh sukacita atau ketika gereja dipenuhi kegiatan yang meriah. Namun, menjadi murid Kristus di tengah masyarakat yang penuh ketidakadilan berarti kita harus berani memikul salib dalam bentuk integritas, kesediaan untuk mengampuni meski hati ingin membalas, keberanian berdiri bagi kebenaran meski ada risiko, serta kerelaan memperjuangkan keadilan meski harus menghadapi tekanan. Di sinilah kita diuji: apakah kita sungguh murid Yesus, atau sekadar followers yang hanya hadir ketika keadaan nyaman?
Yesus tidak mencari pengikut musiman, melainkan murid sejati. Murid yang setia bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan nyata menghadirkan kasih, kebenaran, dan keadilan di tengah masyarakat. Dan di situlah letak sukacita yang sejati: ketika kita memilih dengan sadar untuk hidup sebagai murid Kristus, bukan karena tren, bukan karena keuntungan sesaat, tetapi karena kasih-Nya yang telah lebih dahulu memilih kita.
Kiranya setiap kita mau bertanya dengan jujur pada diri sendiri: apakah aku sungguh-sungguh murid Yesus, atau selama ini hanya sekadar followers? Pilihan ada di tangan kita. Tuhan sudah memanggil, Ia tidak memaksa, tetapi Ia menantikan keputusan kita untuk mengikuti Dia dengan segenap hati. Pada akhirnya, marilah kita senantiasa belajar untuk menjadi murid Yesus yang sejati, yang belajar, berkorban, bersuara, dan hidup seturut kasih serta kebenaran-Nya. Ini tidak pernah mudah, tetapi imanilah bahwa Tuhanlah yang sedang bersama dengan kita dalam setiap langkah. Amin.
Oleh : Pdt. Zeta Dahana
Got something to say?