MALPRAKTIK AGAMA
Susy menderita sakit parah cukup lama. Setiap hari Susy harus meminum beberapa obat yang, kata dokter, wajib dikonsumsinya. Susy sangat frustrasi dengan penyakitnya. Dia ingin sembuh. Jalan apa pun akan ditempuhnya. Suatu saat, Susy mengunjungi ibadah penyembuhan yang dipimpin seorang rohaniawan. Konon, doa sang rohaniawan sangat ‘tokcer.’ Segala penyakit yang didoakan selalu hilang lenyap. Susy datang dengan harapan sangat besar.
Susy didoakan secara khusus. Setelah didoakan, dia belum merasakan kesembuhan. Susy tetap berharap. Sang rohaniawan katakan bahwa kesembuhan tidak terjadi bukan karena Allah yang salah, tetapi karena iman Susy terlalu lemah. Dua hal wajib dilakukannya untuk membuktikan imannya. Pertama, memberikan persembahan kepada Allah. Tentu saja melalui sang rohaniawan. Kedua, membuang segala obat-obatan yang diberikan dokter. “Kita harus bergantung pada kuasa penyembuhan, bukan pada obat apa pun,” kata sang rohaniawan. Susy mengamini kata-katanya.
Susy lakukan yang dikatakan. Dia memberikan persembahan. Cukup besar jumlahnya. Susy membuang obat-obatan yang rutin diminumnya. Susy berharap mujizat itu datang. Sayangnya, gara-gara tidak lagi mengkonsumsi obat-obatan yang rutin diminumnya, penyakitnya kambuh, bahkan makin parah. Beberapa minggu kemudian, Susy dijemput oleh kematian. Ini malpraktik agama!
Kevin punya pengalaman yang hampir sama. Akibat kecelakaan lalu lintas, Kevin menderita kelumpuhan. Efeknya, rasa percaya dirinya terkikis. Dia frustrasi. Syukurnya, dia punya sedikit dana pesangon. Dana itu dari kantor yang dulu memperkerjakannya. Kevin berencana menggunakannya untuk usaha kecil-kecilan. Tetapi, rencana itu urung dilakukan.
Kevin justru menyumbangkan seluruh dananya untuk pelayanan. Bagaimana itu terjadi? Saat seorang pengkhotbah yang mengklaim diri ‘penyembuh ilahi’ datang ke kotanya, Kevin mengikuti ibadahnya.
Dalam ibadah itu, Kevin diingatkan untuk memberikan apa pun yang dia miliki sebagai tanda kesetiaan dan imannya. Kevin lakukan dengan taat. Sang penyembuh ilahi meyakinkannya dengan janji bahwa Allah sendiri pasti membalasnya dengan kesehatan dan kekayaan yang berlimpah ruah. Siapa yang tidak mau? Kevin mau dan dia yakin dengan janji itu. Dia berharap!
Beberapa bulan berlalu, Kevin tetap lumpuh. Dananya ludes. Ekonominya terpuruk. Kevin frustrasi berat. Kini dia mendekam di rumah sakit jiwa. Malpraktik agama
Malpraktik
Kedua kasus di atas hanya segelintir dari ribuan kasus-kasus malpraktik agama. Lalu, apa itu malpraktik? Malpraktik atau malpractice dikenal dalam dunia kedokteran. Berasal dari gabungan dua kata ‘mal’ dan ‘practice’. Mal artinya buruk. Practice artinya tindakan. Secara harafiah artinya suatu tindakan medik yang buruk.
Sesungguhnya malpraktik terjadi di segala bidang kehidupan. Di dalam dunia bisnis, dalam dunia politik dan bahkan juga dalam dunia keagamaan.
Malpraktik dalam dunia keagamaan inilah yang diangkat oleh David W. Jones dan Russells S. Woodbridge dalam buku “Health, Wealth and Happiness.” Menurut Jones and Woodbridge, malpraktik dalam dunuia keagamaan ini dipraktekkan oleh prosperity gospel. Di Indonesia prosperity gospel dikenal dengan nama teologi sukses.
Para pengkhotbah teologi sukses memberi janji-janji memabokkan umat pendengarnya. Mereka selalu katakan umat harus memiliki iman yang kuat. Sampai di situ tidak masalah. Tetapi selanjutnya mereka akan ‘menuntut’ agar umat membuktikan imannya dengan memberikan persembahan. Para pengkhotbah ini memberi harapan bahwa Tuhan akan membalas para penyumbang itu dengan kesehatan dan kekayaan yang melimpah. Berkat Tuhan akan mengalir bagaikan air sungai yang deras. Tentu saja, kalimat-kalimat mereka lebih ‘powerful’ karena dibalut dengan ayat-ayat suci. Umat diyakinkan untuk melakukan apa yang mereka kehendaki. Menurut Jones dan Woodbridge di situlah persoalan teologisnya. Orang datang bukan untuk mencari Yesus. Para pengkhotbah juga tidak memberitakan Yesus Kristus. Umat datang untuk mendengar janji-janji kekayaan dan kesehatan yang dilontarkan pengkhotbahnya.
Janji-janji itu ilusi dunia sekuler yang masuk dalam ranah keagamaan. Banyak orang mengalami kekecewaan karena termakan ilusi kosong itu. Aspek lain lagi adalah orang memberi persembahan bukan karena cinta Tuhan. Mereka datang karena ingin mendapatkan lebih banyak lagi berkat dari Tuhan. Umat seperti pemancing yang mengumpan cacing untuk dapat ikan kakap. Tuhan ‘disogok’ agar memberi mereka kesuksesan.
Tahukah anda bahwa yang makin sukses dan makin kaya adalah para pengkhotbah itu sendiri. Itulah sebabnya kebanyakan para pengkhotbah teologi sukses itu sangat sukses dan kaya raya. Mereka memiliki pesawat, mobil dan rumah yang super mewah. Mereka bisa begitu karena menerapkan malpraktik teologi yang namanya teologi sukses.
Rasanya sudah saatnya gereja atau institusi agama mana pun mengajarkan umat untuk bersikap kritis terhadap malpraktek keagamaan. Agama memang mengajarkan banyak kebaikan, tetapi agama pun bisa digunakan untuk mengelabui siapa pun, termasuk anda.
Oleh : Pdt. Albertus M. Patty
Got something to say?