Korupsi 8 Trilyun
Belum lama ini seorang Menteri ditangkap karena kasus korupsi BTS. Nilai korupsinya sangat besar yaitu 8 trilyun rupiah. Konon, Sang Menteri tidak korupsi sendirian. Dia melibatkan banyak pihak. Selain pengusaha dan broker, korupsinya juga melibatkan anggota DPR dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Ini korupsi berjemaah! Pantas saja hingga saat ini DPR tidak bereaksi apa pun terhadap kasus mega korupsi ini. Gara-gara korupsi BTS ini, puluhan juta warga masyarakat gigit jari. Keinginan mereka mendapatkan informasi secara cepat melalui akses internet tertunda lagi. Efek lain, aparat keamanan dan militer di berbagai daerah belum terhubung dengan media komunikasi yang cepat. Jadi, dari segi keamanan, kita dalam posisi cukup rentan terhadap ancaman luar. Oleh karena itu para koruptor tersebut layak disebut pengkhianat bangsa. Harus dicari dalang besar kasus korupsi ini, lalu hukumlah mereka seberat-beratnya. Agar ada efek jera.
Fenomena Korupsi
Sebelum kasus BTS ini, ada banyak kasus korupsi lain. Pelakunya adalah para pejabat mulai dari Menteri, Gubernur, Walikota, Bupati, anggota DPR, aparat kepolisian dan anggota DPRD. Tidak seperti China, bangsa kita belum bisa mengatasi kasus korupsi. Pada tahun 2022 ada 570 kasus korupsi. Dan ini meningkat dibandingkan tahun 2021. Memang, menurut International Transparancy, index Indonesia mengalami penurunan dibanding dengan tahun sebelumnya. Dalam soal korupsi, posisi Indonesia berada di urutan 110 dari 180 negara. Bandingkan dengan Singapore yang berada di urutan ke-5. Artinya, banyak oknum pejabat justru menjadi sumber penyakit bangsa. Mereka lebih menjadi problem maker daripada problem solver. Ironisnya, institusi negara yang mestinya mengawasi korupsi justru menjadi sarang koruptor. Misal lembaga peradilan mulai dari MK sampai sipir penjara, kepolisian dan DPR/DPRD. Pantas Mahfud MD mengatakan: “menoleh kemana pun, semuanya korupsi.”
Lalu apa penyebab korupsi? Penyebabnya banyak. Bisa karena keserakahan, kesempatan dan kebutuhan. Keserakahan muncul karena kita semua dikuasai kultur hedonisme, konsumerisme dan materialisme. Orang bernafsu ingin memperoleh semuanya. Orang ingin kaya raya dan ukuran kesuksesan pada masa kini diukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki. Orang korupsi karena kesempatan efek lemahnya sistem pengawasan dan lemahnya penegakkan hukum. Para koruptor sering dihukum sangat ringan. Jadi, tidak ada yang takut saat dihukum. Tetapi, orang juga menjadi koruptor karena kebutuhan. Butuh untuk menopang partai politik atau butuh untuk menyekolahkan anak, dan sebagainya.
Mengapa Korupsi Harus Diberantas?
Korupsi itu bagaikan virus yang menghancurkan kita semua, baik secara personal maupun secara sosial. Korupsi membangkrutkan negara, melambatkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan investasi, memiskinkan rakyat, menghancurkan kohesi sosial, memperlebar gap ekonomi, dan sebagainya. Efek dari semuanya itu, kita bisa saja saling berkelahi untuk berebut makanan. Negara-negara yang marak korupsi pasti mengalami situasi sosial-politik yang tidak stabil. Negara-negara seperti Somalia, Sudan, Suriah, Korea Utara, Venezuela adalah negara yang secara sosial, politik dan ekonomi sangat rapuh. Mereka saling berkelahi satu-sama lain dan terpecah-belah. Sebaliknya, negara-negara yang tingkat korupsinya rendah selalu menjadi negara yang stabil, damai dan adil. Lihat saja negara-negara yang bersih dari korupsi. Denmark, Finlandia, Norwegia, Selandia Baru dan Singapore adalah negara yang maju, damai dan sejahtera. Artinya bila korupsi tidak segera dicegah atau diberantas, bangsa kita bisa terpecah-belah dan saling menghancurkan.
Bagaimana mencegah korupsi yang sudah menjamur ini? Ada beberapa:
- Pertama, sistem kontrol keuangannya harus terus diperbaiki sehingga peluang untuk korupsi semakin sulit.
- Kedua, pemerintah kita harus belajar bersikap tegas terhadap perilaku korupsi. Berikan hukuman yang seberat-beratnya. Bila kita mau belajarlah dari China. Meski menganut sistem satu partai yang tidak demokratis, tetapi China tegas terhadap para koruptor. Para koruptor, siapa pun dan apa pun jabatannya, pasti dihukum mati. Efeknya ekonomi China bertumbuh sangat pesat. Sebaliknya di kita para koruptor justru senyum sumringah saat ditangkap dan dipenjara. Maklum, mereka merasa nyaman di situ.
Sikap Gereja?
Lalu, bagaimana sikap gereja? Gereja harus tegas menolak korupsi. Di Alkitab Yudas, murid penjual Yesus itu, digolongkan sebagai koruptor. Di Kisah Rasul ada cerita Ananias dan Safira yang melakukan tindakan yang tidak jujur. Amos berteriak lantang melawan ketidakadilan. Selain menolak korupsi, gereja harus bisa menjadi teladan. Dana gereja harus digunakan dan dimanfaatkan secara bertanggungjawab. Gereja juga harus menerapkan sistem keuangan yang akuntabel dan transparan. Anggota jemaat harus dituntun untuk mampu menolak korupsi, menolak praktek sogok-menyogok, dan mampu bersikap jujur dalam segala hal. Bila kita semua cinta Tuhan, cinta pada bangsa ini dan ingin menjaga nama baik diri dan keluarga kita, mulailah menolak korupsi.
Bandung
24 Juli 2023
Oleh : Pdt. Albertus M. Patty
Got something to say?