KELUARGA YANG BERBAGI DI TENGAH KRISIS
Ketika kita membaca Kisah Para Rasul 2:44-47, kita dibawa pada gambaran yang indah tentang jemaat mula-mula: “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.” Di tengah tekanan sosial, politik, dan ekonomi pada masa itu, jemaat tidak menutup diri, melainkan membuka hidup mereka satu terhadap yang lain. Mereka memecahkan roti di rumah-rumah dengan hati yang bersukacita, sederhana, penuh pujian kepada Allah, dan oleh karena itu, mereka memperoleh simpati dari semua orang. Tuhan pun menambahkan orang-orang yang diselamatkan ke dalam jemaat setiap harinya.
Inilah wajah sejati dari sebuah keluarga Kristen: bukan sekadar ikatan darah, tetapi ikatan iman dan kepedulian. Dengan kata lain, komunitas iman tidak dibangun dari idealisme kosong, tetapi dari kepedulian yang nyata — dari roti yang dibagi, waktu yang dihabiskan, hingga air mata yang ditanggung bersama.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh John Piper: “The highest act of love is the giving of the best gift, and, if necessary, at the greatest cost, to the least deserving. That’s what God did.” Kasih Allah yang terbesar nyata dalam Kristus yang rela memberi diri-Nya, bukan kepada mereka yang layak, melainkan kepada mereka yang tidak layak dan kasih yang sama itulah yang menjadi dasar bagi kemurahan hati kita.
Maka, di tengah krisis yang dialami dalam masa kini, seperti ketidakpastian ekonomi, meningkatnya individualisme manusia, bahkan kesepian yang mencekik banyak orang—kita dipanggil untuk menampilkan kembali wajah jemaat mula-mula. Keluarga Kristen bukan hanya tempat berlindung, tetapi menjadi pusat generosity dan solidaritas sosial. Itu berarti kita tidak hanya berbagi karena berkelebihan, tetapi juga karena kita percaya bahwa dalam Kristus kita tidak pernah kekurangan. Berbagi bisa sesederhana menyediakan makan siang bagi seorang rekan kerja yang sedang kesulitan, menampung sementara sahabat yang sedang terpuruk, atau bahkan sekadar telinga yang mendengar dengan sabar keluh kesah seseorang. Hal-hal kecil inilah yang menjadikan gereja sebagai rumah yang hidup, rumah yang menyembuhkan, rumah yang menarik banyak orang datang untuk mengenal kasih Kristus.
Tepat di momen yang indah ini, ketika GKI Maulana Yusuf merayakan ulang tahunnya yang ke-58, kita diingatkan bahwa usia gereja bukan sekadar hitungan tahun, melainkan kesempatan untuk semakin setia pada panggilan Kristus. Perayaan ini menjadi momentum bagi kita semua untuk kembali menghidupi semangat jemaat mula-mula: berbagi dengan tulus, bersukacita dalam kesederhanaan, dan menjadi berkat nyata di tengah masyarakat. Inilah saatnya kita membuktikan bahwa keluarga besar GKI Maulana Yusuf sungguh-sungguh hadir bukan hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi dunia yang menderita.
Kiranya ulang tahun ini menjadi titik tolak baru untuk melangkah lebih jauh dalam pelayanan, solidaritas, dan kemurahan hati. Kita diteguhkan untuk menjadi keluarga yang berbagi, yang bersukacita dalam kesederhanaan, yang memuliakan Allah lewat kehidupan nyata, dan yang terus menghadirkan kasih Kristus bagi kota ini dan dunia. Soli Deo Gloria!
Oleh : Pdt. Zeta Dahana
Got something to say?