KEBANGKITAN ADALAH PENERIMAAN
Setelah kebangkitan-Nya, Yesus tidak melakukan pembalasan dendam terhadap pembunuh dan penentang-Nya. Bila Ia membalas dendam, dunia akan menjadi lebih buruk dan menakutkan. Lingkaran setan permusuhan dan konflik akan mengoyak dan memusnahkan kita semua. Kekristenan menjadi agama yang haus darah. Beruntunglah para murid-Nya! Yesus tetap menerima dan mencintai mereka. Para murid yang mengkhianati-Nya, melarikan diri dan meninggalkan-Nya Dia kunjungi. Yesus paham, mereka lari karena ketakutan. Mereka kabur demi menyelamatkan diri. Yesus tidak menghakimi tindakan pengecut itu. Yesus menerima mereka apa adanya.
Mengapa Yesus tidak melakukan pembalasan dendam? Karena Yesus mau virus permusuhan dan dendam merusak kemanusiaan kita. Momen Yesus menerima dan merangkul para murid-Nya adalah momen penerimaan. Ia menerima siapa pun yang rapuh. Kebangkitan-Nya adalah kemenangan, dan kemenangan diikuti dengan penerimaan terhadap mereka yang rapuh dan rentan. Penerimaan adalah tangan yang terbuka dan merangkul siapa pun. Penerimaan adalah senyum yang terkembang dan kata-kata yang lembut menyapa. Penerimaan adalah pemanusiaan. Apa yang kita butuhkan adalah saling menerima! Hanya penerimaan yang mampu mentransformasi kehidupan keluarga, gereja, bangsa dan dunia ini. Penerimaan adalah sikap melawan pengotak-kotakan aku vs engkau atau kamu vs mereka. Penerimaan meruntuhkan tembok pemisah. Kita adalah satu!
Sepasang kekasih yang sudah berpacaran hampir lima belas tahun tidak mampu memasuki jenjang menikah. Pasalnya orang tua mereka menolak pernikahan lintas etnik. Orang tua mereka memaksa anak-anaknya menikah dengan etnik yang sama. Dalam keluarga pun kita mengajarkan anak-anak kita untuk melakukan pembedaan terhadap sesama.
Politik agama pun tak ketinggalan. UU Perkawinan No 1/1974 memutuskan bahwa orang Indonesia hanya boleh menikah dengan yang seagama. Bisa saja anda setuju bahwa sebaiknya kita nikah dengan mereka yang seagama. Tetapi, point saya bukan di situ. Point saya ada dua. Pertama, Pemerintah tidak berhak mengatur masalah pribadi kita. Pemerintah tidak berhak menentukan kepada siapa seseorang jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah. Nah, undang-undang perkawinan itu membiarkan pemerintah mengintervensi masalah yang paling pribadi dalam hidup kita. Point kedua adalah kita manusia cenderung membangun tembok-tembok pemisah antar etnik, terutama antar agama. Sering tembok pemisah imajiner ini diabsahkan oleh aturan dan peraturan pemerintah. Padahal hal paling penting dalam situasi ini adalah menerima orang lain apa adanya. Dalam kemajemukan bangsa ini, penerimaan mesti menjadi habitus bangsa kita.
Tahukah Anda bahwa institusi pendidikan kita telah mengkonstruksikan siswa untuk berinteraksi dalam komunitas seagama saja. Setiap agama, setiap denominasi bahkan setiap gereja punya institusi pendidikannya sendiri. Efeknya, anak-anak kita tidak pernah bergaul dengan mereka yang berbeda gereja atau dengan mereka yang berbeda agama. Mereka menjadi manusia yang tidak memiliki kecerdasan sosial! Anak-anak kita tidak pernah belajar hidup dalam keanekaragaman. Sementara itu, bangsa kita juga masih terjerat oleh melebarnya kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan mereka yang miskin. Semua kasus di atas adalah ‘invisible stumbling block’ yang memisah kita sebagai bangsa. Dari sinilah muncul virus polarisasi: kami Vs mereka atau aku Vs engkau! Dalam dunia yang segregatif, diskriminatif dan eksploitatif ini kita makin memerlukan spirit penerimaan sambil menyembuhkan berbagai sumber polarisasi kita. Kebangkitan Yesus membawa spirit penerimaan, cinta dan persaudaraan. Spirit itulah yang kita butuhkan untuk memperkuat solidaritas agar dalam dunia yang rapuh ini kita bisa saling menopang dan melengkapi.
Oleh : Pdt. Albertus Patty
Got something to say?