JERITAN BUMI, TANGISAN MANUSIA
Ada saat-saat ketika dunia tidak lagi berbicara dengan kata-kata, tetapi mengeluh, menangis, dan merintih. Hutan kehilangan senandungnya, karena kita tahu ia sedang sakit. Sungai tidak lagi mampu bersuara. Keceriaan airnya lenyap seketika oleh keruhnya tanah dan balok kayu. Udara tidak lagi segar semerbak dan kita menghirup bau busuk keterlukaannya. Semua karena ketamakan!
Rasul Paulus berkata: “Segala makhluk mengeluh” (Roma 8:22). Alam tidak diam. Alam sedang mengaduh, seperti seorang ibu yang menahan sakit bersalin, karena ia menantikan kelahiran dunia yang baru, dunia yang dipulihkan.
Dalam konteks ini, suara profetis Michael Jackson dalam Earth Song menggema lagi:
https://youtu.be/XAi3VTSdTxU?si=GXAUz4viOUXCuCkF
“What about sunrise… What about rain… What about us…”
Itu bukan sekadar lirik, bukan sekadar lagu pop, tetapi ratapan profetik: jeritan bumi yang meminta manusia membuka mata, telinga, dan hati. “What about us?” bukan hanya pertanyaan bagi Tuhan; itu pertanyaan bagi kita. Untuk apa kita hidup? Apa yang telah kita pertahankan? Apa yang telah kita rusak? Siapa yang telah kita abaikan?
Setiap bait lagunya seperti memukul hati nurani: Apa kabar hutan kita?
Apa kabar anak-anak yang menderita?
Apa kabar bumi yang kita eksploitasi tanpa belas kasihan?
Apa kabar nurani kita yang semakin kebas?
Kita sering lupa bahwa manusia bukan penguasa tunggal bumi ini. Kita bukan pemilik. Kita hanyalah penjaga. Dan kita adalah penjaga yang telah gagal menjaga bumi.
Namun, renungan ini bukan untuk membuat kita tenggelam dalam rasa bersalah. Justru ini panggilan untuk bangkit. Di dalam Roma 8, keluhan ciptaan bukan akhir dari cerita. Paulus menyebutnya “sakit bersalin.” Sakit yang melahirkan. Sakit yang memberi harapan. Sakit yang membuka ruang bagi lahirnya pembaruan. Dan pembaruan itu dimulai dari kita: dari hati yang bertobat, dari jiwa yang membiarkan kapak Yohanes meruntuhkan ego mulai dari akarnya (Matius 3:10), dari iman yang tidak hanya berdoa tetapi bertindak.
Ketika kita: mengurangi keserakahan, menolak ketidakpedulian, mulai mengasihi bumi seperti mengasihi sesama, mulai memperhatikan penderitaan manusia dan ciptaan, maka kita sedang menyambut kelahiran dunia baru yang Allah sedang kerjakan. Dunia yang diimpikan Paulus. Dunia yang dirindukan bumi. Dunia yang dinyanyikan Michael Jackson dengan air mata.
Di akhir Earth Song, bumi diputar kembali, hutan yang gundul kembali tumbuh, tanah yang rusak menjadi hidup, manusia berseru bersama-sama dalam sebuah paduan suara harapan. Itulah gambaran pertobatan kolektif. Itulah bayangan kerajaan Allah yang menyentuh bumi.
Maka hari ini, mari kita dengar jeritan itu. Jeritan pohon, jeritan Sungai, jeritan udara, jeritan berbagai makhluk, dan anak-anak korban bencana efek ego kita di Sumatera Utara dan Aceh. Jeritan anak-anak Palestina, Sudan, dan Nigeria yang terjerat dalam kancah konflik dan kebencian tiada akhir. Jeritan ciptaan yang mengeluh, jeritan yang memanggil kita untuk berubah.
Dan mari kita jawab dengan kehidupan yang baru: “Tuhan, lahirkanlah dunia-Mu melalui hidup kami. Perbarui bumi melalui pertobatan kami. Pulihkan ciptaan melalui kasih kami. Jadikan kami pelayan yang menjaga keutuhan dunia-Mu.”
Sebab penderitaan ciptaan bukanlah akhir. Suara rintihan bumi bukanlah tanda putus asa. Itulah undangan ilahi agar kita mengambil bagian dalam karya pemulihan Tuhan.
Bumi sedang mengaduh. Kini saatnya manusia bangkit. Agar kelak, bersama seluruh ciptaan, kita dapat menyanyikan bukan lagi “Earth Song” sebagai ratapan, tetapi sebagai nyanyian pemulihan, nyanyian kelahiran dunia yang baru.
Oleh : Pdt. Albertus M. Patty
- S Prev
- s

Got something to say?