HIDUP BERDAMPAK
Pertanyaan “What is being?” diajukan seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger (1889-1976). Ia prihatin melihat manusia yang kosong tanpa makna, karena terjebak dalam kedangkalan hidup, di mana manusia lebih fokus pada benda, kuantitas, dan kekuasaan personal. Karenanya manusia selalu diliputi kegelisahan, keterasingan dan mati.
Jika manusia mau, menurutnya, manusia bisa memilih untuk hidup otentik dan memusatkan perhatiannya pada kebenaran, yakni menghayati keberadaannya di dunia ini.
Ia sebenarnya ingin mengatakan, bahwa karena manusia itu ada di dunia, maka hidupnya secara bermakna, yakni memberi dampak bagi kehidupan.
Jauh sebelum Martin, dalam kotbah-Nya di bukit, Tuhan Yesus sudah menyinggung soal makna keberadaan manusia di dunia ini, dengan berkata, “Jadilah garam dan terang dunia”. Hidup manusia di dunia mestinya berlaku seperti garam, yang memberikan pengaruh baik dan benar bagi sesama dan lingkungan, serta mempertahankan ajaran dan nilai moral yang baik dan benar juga. Jika tidak, apalah artinya, selain dibuang.
Dan mestinya, hidup manusia pun seperti terang, yang keberadaannya dirasakan dan dinikmati orang di sekitarnya. Jika tidak bisa menjadi mercusuar, yang nyala sinarnya begitu terang, itu tidaklah masalah. Sebab sekalipun terangnya hanya kecil, itu masih bisa terlihat dengan jelas dari kejauhan di tengah kegelapan. Yang terpenting adalah, hidup kita masih memberi arti bagi sesama dan lingkungan di sekitarnya.
Jadi, menurut Tuhan, eksistensi kita, keberadaan kita di dunia ini adalah menjadi garam dan terang. Seperti itulah hidup yang berdampak, memberi pengatuh positif bagi lingkungan di sekitar kita.
Oleh : Pdt. Wee Willyanto
Got something to say?