HADAPI TANTANGAN DENGAN BIJAK
Hidup ini, -kata orang Betawi lama-, bukan cuma soal kuat, tapi tahu kapan mesti minggir. Dan Matius 2:13–23 memberi pelajaran yang tampaknya sederhana, tapi sering bikin kita tersandung: orang bijak bukan selalu yang melawan, melainkan yang tahu kapan harus menghindar.
Herodes yang Paranoid
Herodes adalah contoh klasik orang yang tidak bijak menghadapi tantangan. Ia merasa tahtanya terancam oleh seorang bayi yang lemah, yang belum bisa bicara, apalagi berpolitik. Tapi Herodes panik. Ketakutannya berubah menjadi paranoia. Ia pakai kekuasaan untuk membantai. Ia kira dengan kekerasan, ancaman bisa dieliminasi. Padahal yang ia lakukan justru menelanjangi kelemahannya sendiri: orang yang paling takut kehilangan kuasa biasanya paling kejam mempertahankannya.
Sama seperti para penguasa otoriter masa kini yang doyan menggunakan bahasa kekerasan, Herodes pun demikian. Dia hadapi tantangan dengan ancaman dan kekerasan. Ia kira segalanya bisa di-handle dengan cara ini. Akibatnya? Darah, tangis, dan sejarah mencatat namanya bukan sebagai raja besar, tapi sebagai algojo bayi.
Yusuf yang Bijak
Bandingkan dengan Yusuf. Ia bukan raja. Bukan pejabat. Bukan pula pemilik pasukan. Tapi Yusuf bijak. Saat ancaman datang, nyata dan mematikan, Yusuf tidak berdebat dengan realitas. Ia tidak berkata, “Tuhan pasti lindungi saya, jadi saya tinggal saja.” Tidak. Ia bangun malam-malam, mengambil Maria dan Yesus, lalu menyingkir ke Mesir.
Ini bukan tindakan pengecut. Ini tindakan orang waras. Di sini kita belajar untuk bedakan dua jenis tantangan. Pertama, tantangan yang bisa kita handle sendiri. Kita cukup bekerja lebih tekun, belajar lebih keras, perbaiki relasi, kendalikan emosi dan lebih inovative. Di sini, iman bertemu tanggung jawab.
Kedua, tantangan yang terlalu besar untuk kita handle: kekerasan struktural, ketidakadilan sistemik, penyakit berat, ancaman yang melampaui kapasitas kita. Di titik ini, kebijaksanaan bukan soal adu nyali, tapi soal membaca tanda zaman dan mendengar suara Tuhan. Nah. Yusuf memilih jalan sunyi: menyingkir, bertahan, menunggu waktu. Ia tidak kalah; ia menunda pertarungan yang memang bukan bagiannya. Ia tahu, ada pertempuran yang hanya akan menghancurkan bila kita paksakan.
Butuh Kelenturan
Sering kali kita salah paham soal iman. Kita kira iman itu selalu berarti maju. Padahal kadang iman berarti mundur satu langkah agar hidup tetap utuh. Kita kira iman itu keras kepala. Padahal iman yang dewasa itu lentur seperti bambu yang tidak patah saat badai datang.
Sikap bijak, kata Matius, bukanlah nekat religius. Bukan pula pasrah fatalistis. Sikap bijak adalah ketaatan yang realistis: mendengar Tuhan, membaca situasi, dan berani mengambil keputusan yang tidak heroik tapi menyelamatkan.
Maka, jika hari ini Anda menghadapi tantangan yang terasa terlalu besar, jangan malu untuk mengungsi sejenak. Jangan merasa gagal karena memilih aman. Jangan minder karena tidak melawan. Bisa jadi, justru di situlah iman Anda bekerja paling jujur.
Sebab sejarah keselamatan tidak selalu ditulis oleh mereka yang berdiri di garis depan. Kadang ia ditulis oleh orang-orang yang tahu kapan harus pergi, demi hidup, demi masa depan, demi karya Tuhan yang belum selesai.
Oleh : Pdt. Albertus M. Patty
- S Prev
- s

Got something to say?