GEREJA DAN PERUBAHAN ZAMAN (Part 2)
Lalu bagaimana semestinya sikap Gereja dalam menghadapi perubahan zaman? Saat ini, kita berada pada zaman informasi. Arus informasi yang sangat pesat membuat banyak orang tidak memiliki fokus (terombang-ambing) dalam hidupnya. Arus nilai dunia yang begitu kuat membuat banyak orang bimbang dalam memilih mana berita yang benar dan mana yang hoax. Ada orang yang menolak kemajuan teknologi dan terus melanjutkan gaya pelayanan yang lama, tetapi ada orang yang memanfaatkan kemajuan teknologi untuk membuat pelayanan menjadi lebih efektif. Kemajuan teknologi bisa memudahkan kita dalam segala hal serta mengefisienkan waktu dan tenaga, tetapi bisa pula membuka akses ke arah hal yang negatif (penyebaran berita hoax, modus penipuan, dan sebagainya). Gereja harus belajar menilai zaman agar bisa memberi pelayanan yang tepat (sesuai dengan perubahan zaman).
Pada Lukas 12:54-59, Tuhan Yesus menegur keras orang banyak yang tidak peka terhadap kondisi zaman. Mereka dapat melihat fenomena alam dengan jelas, tetapi mereka tidak bisa melihat krisis rohani yang ada di depan mata. Dengan mata jasmani, mereka bisa melihat dan menilai segala sesuatu. Akan tetapi, kebutaan rohani membuat mereka tidak bisa melihat krisis rohani yang ada di depan mata. Sebagai murid Tuhan Yesus, seharusnya mereka dapat melihat betapa seriusnya krisis rohani yang ada saat ini. Banyak orang meninggalkan Tuhan, memilih jalan sendiri dan hidup dalam dosa, hidup tanpa arah. Krisis rohani saat ini, dimana ciptaan meninggalkan Sang Pencipta, merupakan masalah serius, bahkan merupakan tragedi yang serius, Tuhan Yesus datang ke dalam dunia untuk mati di kayu salib guna memulihkan relasi antara ciptaan (manusia) dan Sang Pencipta (Tuhan). Tuhan Yesus menyebut orang yang acuh tak acuh terhadap krisis rohani sebagai orang munafik atau orang fasik atau orang bodoh. Teguran Tuhan Yesus yang keras ini berlaku juga bagi setiap orang percaya di sepanjang zaman.
Ya, Gereja harus mampu menilai dan juga sekaligus mampu menghadapi tantangan zaman. Gereja yang dimaksud tidak sekedar merujuk pada sebuah institusi atau gedung gereja, melainkan termasuk orang-orang yang berada di dalamnya (persekutuan umat percaya). Jika mengambil lirik nyanyian dari KJ 257, “Aku Gereja, Kau Pun Gereja”, maka arti Gereja adalah orangnya, yaitu setiap orang percaya, para pengikut Yesus, yang terdiri dari bangsa-bangsa, yang berbeda tempat dan warna kulit, di seluruh dunia. Kita semuanyalah yang harus mengemban tugas panggilan untuk menjadi kabar baik.
Karena itu, saya ingin mengajak kita untuk kembali mengingat 3 tugas Gereja, yakni Marturia, Koinonia dan Diakonia, dan memaknai ketiga tugas itu dalam kondisi zaman saat ini.
Pertama, Marturia. Istilah ini merujuk pada peran Gereja di tengah masyarakat, negara dan dunia, bahkan bagi dirinya sendiri. Sederhananya, semua aktivitas Gereja harus menjadi teladan bagi dunia, menjadi berita dan kesaksian iman yang benar bagi keselamatan dunia dan umat manusia. Lalu apa yang biasa Gereja lakukan dalam konteks itu? Apakah kehadiran Gereja dalam bersaksi hanya sebatas tindakan yang karitatif atau berdampak memberi perubahan yang baik, memberi nilai-nilai spiritualitas agar hidup umat tetap teguh dan kokoh? Apakah aktivitas eksternal cukup seimbang dengan pelayanan internal, di mana umat di dalam pun sebenarnya butuh perhatian dan sentuhan yang lebih, tidak sebatas ibadah yang terpusat di gedung gereja?
Beberapa waktu lalu, ada jemaat yang curhat. Tantenya meninggal dunia pada hari Kamis, berharap bisa dimakamkan hari Sabtu. Tetapi karena Gereja sangat sibuk dengan berbagai acara sampai hari Minggu, maka Majelis Jemaat meminta agar keluarga menggeser waktu pemakaman di hari Senin dan Selasa. Kebaktian Penghiburan, Pelepasan dan Pemakaman digabung pada hari itu. Pelayanan penghiburan hanya sekali itu saja, tidak ada yang melayat, apalagi kebaktian penghiburan. Di zaman yang menuntut kita untuk melakukan banyak kegiatan dalam waktu yang hampir bersamaan (mobilitas tinggi), sudah semestinya kita juga mampu untuk bisa menentukan mana yang lebih prioritas yang harus segera ditangani agar pelayanan internal pun tetap mendapatkan perhatian. Agar Gereja terhindar dari tindakan yang hanya mementingkan pencitraan dan pengiklanan diri.
Kedua, Koinonia, diartikan sebagai persekutuan dengan partisipasi intim setiap pesertanya, yang dalam pengertian Perjanjian Baru, sering merujuk pada kegiatan Gereja mula-mula dalam hal berkumpul di rumah-rumah (rumah/keluarga sebagai Gereja kecil), memecahkan roti, dan berdoa (Kisah Para Rasul 2:42). Kegiatan tersebut merupakan sarana untuk membentuk jemaat yang berpusat kepada Kristus, agar melalui persekutuan iman tersebut, orang banyak menyukainya, dan jumlah orang yang diselamatkan makin bertambah (Kisah Para Rasul 2:47).
Melalui pengertian itu, satu hal yang paling menonjol dalam pengertian Koinonia adalah rumah/keluarga sebagai Gereja kecil, yang diistilahkan sebagai Ecclesia Domestica. Rumah/keluarga menjadi pusat persekutuan, bukan di gedung gereja. Namun entah kapan itu terjadi, kini semua aktivitas gereja nyaris dilakukan di gedung gereja. Gereja pun berbenah diri. Fasilitas ibadah dimutahirkan mengikuti perkembangan zaman: digitalisasi, perangkat multimedia yang mumpuni, dsb. Namun, dengan segala sarana itu, apakah pelayanan Gereja mampu menyentuh kehidupan pribadi perseorangan atau keluarga umatnya? Mengapa Gereja tidak kembali fokus untuk membangun persekutuan di rumah-rumah (keluarga-keluarga)? Apakah itu dianggap tidak efisien dan membuat Gereja menjadi begitu sibuk?
Ecclesia Domestica perlu digiatkan kembali. Berbeda dengan kebaktian yang terpusat di gedung gereja, setelah bubar ibadah, orang-orang segera pulang karena urusannya masing-masing. Persekutuan ada hanya saat ibadah terjadi. Jauh berbeda dengan kebaktian atau persekutuan rumah tangga jauh lebih bisa mengakrabkan, bisa saling mengenal pergumulan, juga saling menguatkan iman. Inilah makna persekutuan yang lebih tepat, yang harus terus dikembangkan di zaman yang individualistis, agar kita bisa menjadi contoh yang baik dalam hal membangun komunitas yang sehat, akrab, saling merangkul, mengasihi dan memiliki support system yang baik. Dan setiap keluarga benar-benar dapat menjadi tempat yang pertama dan utama bersemainya nilai-nilai dan pengajaran (kelas katekisasi) iman yang benar.
Ketiga, Diakonia. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu diakoneo, yang berarti melayani. Konsep melayani yang diajarkan Alkitab sangat bertentangan dengan arti melayani yang dikonsepkan dunia.
Dunia berkata bahwa “akan melayani seseorang jika…”. Artinya jika kondisi kita sedang tidak baik, kita wajar tidak melayani. Bisa juga saat kondisi kita sedang banyak masalah, wajar bila akhirnya hanya memikirkan diri sendiri dan tidak mau ambil bagian atas permasalahan orang lain sehingga arti melayani menurut apa kata dunia ini membuat kita tidak bisa meninggalkan ego kita oleh karena adanya pelayanan bersyarat yang dikerjakan.
Arti diakonia menurut Alkitab sangatlah berbeda. Kita memang harus meninggalkan keakuan, dan bersedia menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan kita. Jika merujuk Efesus 6:7, ”Dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia”, maka makna diakonia berarti : melakukan sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan manusia. Jangan pernah mengaku bahwa anda yang paling berjasa, tetapi berkatalah, “Aku hanyalah alat Tuhan untuk menyatakan kasih dan perhatian kepada sesama”; karena itu, kita tetap melayani sekalipun orang yang kita layani merespons hal yang berbeda dengan yang kita harapkan atau orang yang kita layani sepertinya tidak mengalami perubahan apapun dari apa yang telah kita kerjakan.
Lalu bagaimana pelayanan diakonia diterapkan dalam kondisi zaman saat ini?
……….To be Continue..
Oleh : Pdt. Wee Willyanto
Got something to say?