GEREJA DAN PERUBAHAN ZAMAN (Part 1)
Shalom,…
Bagi kita, memperhatikan foto-foto jadul memang menyenangkan. Kita mengenang masa-masa dulu, terlihat muda, badan masih ramping dan sedikit kekar, amat berbeda dengan sekarang yang berbadan lebih subur. Dulu, wajah terlihat ganteng dan cantik, kini sudah mulai terlihat keriput. Rambut yang hitam legam, kini sudah mulai memutih dan akan meninggalkan dunia hitam.
Dulu, rasanya terlihat begitu gagah ketika kita menggunakan celana cutbray, tetapi sekarang sudah ditinggalkan dan memilih untuk memakai celana slimfit. Dulu rok panjang menjadi trend berpakaian kaum perempuan, sekarang lebih memilih rok mini sampai untuk duduk pun terasa ‘ribet‘. Tarik ke bawah, paha terlihat, tarik ke atas, perut pun terlihat. Serba salah!! Nggak dilihat terlihat, dilihat rasanya gimana.
Itulah kenyataan yang sulit kita pungkiri dan tolak. Kita semua mengalami perubahan. Dan satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri… Lalu apa yang dilakukan orang ketika menghadapi perubahan itu?
Memang tidak mudah menghadapi perubahan yang dirasa sangat cepat ini. Ada yang menghadapinya dengan gentar. Takut, bahwa apa yang selama ini dimiliki dan dipeganginya akan sirna begitu saja. Maka kemudian ia memilih untuk menolak perubahan dengan teguh, bersikeras mempertahankan posisi dan semua yang dimiliki serta dipeganginya.
Sebaliknya, ada yang menghadapinya dengan tangan terbuka (permisif). Ia menerima semua perubahan dengan senyum lebar sambil berusaha menyesuaikan semua yang dimiliki dan dipeganginya dengan segala perubahan di sekitarnya.
Dan ada yang menghadapinya dengan tidak menolaknya atau menerimanya mentah-mentah. Apa yang dipandangnya berguna dan menguntungkan dirinya akan diterimanya, dan yang sebaliknya akan ditolaknya.
Masalahnya, bila perubahan yang dimaksudkan hanyalah mode pakaian dan aksesorinya, maka hal itu bukanlah sesuatu yang amat perlu dirisaukan. Tetapi bila yang berubah itu value dan perilaku manusia? Bagaimana bila hal itu menyangkut penghayatan tentang kebenaran dan keadilan, tatanan moral dan etika, serta tentang spiritualitas?
Gereja pun sejak dulu selalu menghadapi perubahan. Mudahkah Gereja menghadapi perubahan itu dan bagaimana Gereja mestinya bersikap? Paling mudah adalah memperhatikan situasi saat dan pasca pandemi terjadi. Apa yang terjadi dalam diri kita dan Gereja dalam menghadapinya?
- Semua orang hidup dalam ketakutan. Ya, semua orang takut menghadapi yang namanya kematian. Situasi yang berat itu seakan-akan melumpuhkan iman kita. Bahkan nilai-nilai yang selalu diberikan Gereja agar selalu kuat dan tangguh dalam menghadapi keadaan apapun seakan tidak berdampak. Malah Gereja pun ikut terbawa dalam suasana ketakutan, finansial yang menurun maupun akan kehilangan jemaat karena ibadah tidak lagi dilakukan secara onsite.
- Dulu orang selalu beranggapan, bahwa uang adalah segalanya. Tetapi pandemi membuka semua pikiran orang, bahwa uang ternyata tidak bisa membeli kesehatan. Begitu banyaknya orang ‘berjubel‘ di rumah sakit yang membutuhkan penanganan segera, sekalipun seseorang punya uang yang banyak, tetapi tetap saja akan dilayani sesuai kesanggupan rumah sakit atau berdasarkan situasi tertentu. Anda tidak bisa segera minta dilayani. Anda harus bersabar menunggu, dan bahkan tidak sedikit yang terlambat ditangani karena begitu banyaknya antrian.
Namun di sisi lain, tidak ada uang karena PHK atau faktor lain pun jadi masalah. Banyak keluarga terpecah, perceraian marak terjadi, bahkan berlipat ganda. Perceraian tidak lagi tabu, malah dianggap sebagai langkah terbaik untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Nilai-nilai sakral dalam hidup berumahtangga menjadi begitu rapuh karena perubahan yang terjadi. - Berdasarkan penelitian Bilangan Research Centre pada 4.095 generasi milenial di Indonesia, yang mengikuti kebaktian 4 kali dalam 3 bulan sebanyak 63,8%, sedangkan sisanya hanya 2 atau 3 kali ibadah. Yang menambah kekhawatiran kita adalah sebanyak 36.5% anak muda tidak rutin baca Alkitab, dan bahkan 4.6% nya tidak pernah membaca Alkitab.
Penelitian itu dilakukan pada tahun 2017, sebelum terjadinya pandemi. Saat dan pasca pandemi, ternyata jumlahnya makin bertambah. Ada apa dengan generasi milenial? Selain karena kurang dihargai perannya di Gereja, selalu dikhotbahi bukan dimentori. Bagi mereka, Gereja terlalu kaku, legalistis, liturgi yang bertele-tele, tidak mau menerima perubahan zaman secara terbuka. Banyak alasan kaum milenial meninggalkan Gereja. Kalau pun mereka masih ada di dalam Gereja, tidak banyak dan terkesan apatis.
Gereja pun, sekalipun tidak berani secara terbuka, mengakui telah “kehilangan” generasi milenial, padahal di tangan merekalah yang akan menerima estafet tugas panggilan pekabaran Injil. Situasi yang ada saat ini mestinya jadi cambuk bagi Gereja untuk melakukan perubahan secara bijaksana.
Ternyata begitu banyak pekerjaan rumah yang harus Gereja lakukan, sedangkan sejarah membuktikan bahwa Gereja selalu tertatih-tatih dalam menghadapi setiap perubahan zaman yang terjadi. Semua itu menjadi catatan bagi Gereja untuk mengevaluasi diri. Sesuai prinsip yang dipegang, Ecclesia semper reformanda est yang berarti Gereja harus selalu direformasi, maka mestinya mau untuk selalu melakukan pembaruan diri tidak sekedar karena dituntut zaman, tetapi berada di depan zaman untuk memberikan dampak (terang dan garam) bagi dunia dan juga dirinya.
Lalu bagaimana semestinya sikap Gereja dalam menghadapi perubahan zaman?
……………………………………..To be continue..
Oleh : Pdt. Wee Willyanto
Got something to say?