DOKTRIN TRITUNGGAL: RELEVANSI SOSIAL-POLITIKNYA!
Pemahaman tentang Tritunggal merupakan ajaran Kristen yang sangat penting. Dalam doktrin Tritunggal, umat Kristen memahami Allah yang bekerja aktif di tengah dunia ini. Meski demikian, pemahaman Tritunggal sering disalahpahami. Ada yang menuding orang Kristen sesat karena percaya Allah punya anak. Yang lain menuduh umat Kristen menyembah tiga (polyteisme) tuhan, bukan Allah yang esa (monoteisme). Tuduhan di atas muncul dari orang yang kurang memahami konsep Allah Tritunggal. Nah, tulisan ini membahas secara sederhana pemahaman Kristen tentang Tritunggal. Selain itu akan dibahas juga relevansi konsep Tritunggal dalam kehidupan sosial-politik. Jadi, kita tahu bahwa Tritunggal bukan konsep mengawang-awang di angkasa, tetapi memiliki relevansi dengan keseharian hidup kita.
Cara paling mudah memahami konsep Tritunggal adalah melalui perumpamaan matahari. Planet yang kita sebut matahari itu terdiri dari tiga unsur yaitu planetnya, sinarnya dan panasnya. Planet berbeda dari sinarnya dan sinar berbeda dari panasnya. Ketiga unsur itu bisa dipilah, tetapi tak terpisahkan. Ketiganya berbeda, tetapi satu kesatuan. Ketiganya sama-sama penting. Tak ada yang lebih penting. Ketiganya saling mengisi dan saling melengkapi. Kehadiran ketiganya sekaligus kita sebut sebagai matahari. Ada perbedaan unsur, tetapi tetap satu.
Saya beri contoh lain. Manusia atau kita semua terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Salah satu saja hilang, manusia pun hilang. Misalnya, saat rohnya hilang namanya bukan lagi manusia tetapi jenazah. Tubuh, jiwa dan roh bisa dipilah, tetapi tak boleh dipisah karena ketiganya satu kesatuan. Ketiganya sama-sama penting. Tak ada yang lebih hebat atau lebih tinggi derajatnya. Ketiganya ada dalam relasi saling melengkapi. Kesatuan dalam perbedaan, dan meski berbeda tetapi tetap satu.
Nah, melalui konsep Tritunggal orang Kristen memahami Allah yang esa itu hadir dalam tiga pribadi yang berbeda yaitu Bapa, Anak yaitu Yesus Kristus dan Roh Kudus. Ketiganya bisa dipilah, tetapi tak dapat dipisahkan. Ketiganya berbeda, tetapi satu kesatuan. Ketiganya punya pekerjaan yang berbeda, tetapi misi-Nya sama yaitu menyelamatkan umat manusia dan dunia. Dengan pemahaman inilah orang Kristen tidak menyembah Allah yang polyteistik alias menyembah banyak Allah, tetapi Allah monoteistik, menyembah Allah yang esa. Lalu ada pertanyaan lain, bagaimana dengan panggilan Bapa dan Anak? Apakah Allah beranak atau memperanakkan? Tentu saja tidak seperti itu. Panggilan Bapa atau Anak lebih bersifat relasional. Panggilan itu menunjukkan relasi keakraban dan kesatuan antara ketiga pribadi itu, tetapi juga menunjukkan relasi keakraban antara Allah dengan manusia. Seperti Yesus, kita bisa memanggil Allah sebagai Bapa. Indah kan?
Relevansi Sosial-Politik
Lalu apa relevansi sosial-politik dari konsep Allah Tritunggal? Pesan penting dari konsep Tritunggal adalah bahwa kita tidak hidup sendirian. Kita juga tidak hidup sendiri-sendiri dalam isolasi. Sebaliknya, kita adalah makhluk sosial dimana kita hidup bersama dengan yang lain yang berbeda. Kita saling membutuhkan. Kita harus saling menerima dan menghargai untuk membangun persekutuan bersama yang adil dan damai.
Teolog yang bergumul serius dengan soal ini adalah Jurgen Moltmann. Bagi Moltmann konsep Tritunggal menunjukkan adanya komunitas plural dimana ketiga pribadi yang berbeda: Bapa, Anak dan Roh Kudus menciptakan relasi cinta abadi yang saling mengisi dan melengkapi. Relasi cinta abadi dari ketiga pribadi itu, menurut Moltmann, patut kita teladani. Bagaimana caranya? Kita harus berpartisipasi membangun relasi cinta di tengah keberagaman. Kita semua memiliki fungsi masing-masing yang berguna bagi kebaikan semua. Meski berbeda, kita satu dalam kesetaraan. Kita bersama membangun komunitas yang saling mencintai, adil dan damai.
Leonardo Boff, teolog Kristen dari Brazil, menyatakan bahwa konsep Tritunggal adalah prototype alias model awal komunitas manusia. Bagi Boff, konsep Tritunggal dimana Allah yang satu tetapi sekaligus ada dalam tiga pribadi yang berbeda menawarkan sikap inklusifitas yaitu keterbukaan dan respek terhadap perbedaan. Konsep Tritunggal menantang kita untuk membangun komunitas atau persekutuan umat manusia dimana segala perbedaan dan kesamaan diterima secara realistis dan bahkan dihargai. Bagi Boff, konsep Tritunggal itu merupakan jawaban jitu terhadap realitas kemajemukan yang dihadapi umat manusia masa kini.
Oleh : Pdt. Albertus M. Patty
Got something to say?