“DIA HANYA SEJAUH DOA”

Simaklah pengalaman spiritual tentang doa dari dua rohaniawan Kristen, Teresa dari Avila dan Henri Nouwen.

Teresa dari Avila
Bagi Teresa, doa bukan sekadar percakapan dengan Allah, tetapi perjalanan batin menuju pusat jiwa, tempat Allah bersemayam. Dalam karyanya yang terkenal Interior Castle, Teresa menggambarkan jiwa manusia sebagai sebuah kastel dengan banyak kamar. Semakin dalam seseorang memasuki kastel itu melalui doa yang tekun dan jujur, semakin dekat ia kepada pusat di mana Allah tinggal. “Doa bukanlah soal banyak berbicara, tetapi mencinta dengan sungguh-sungguh” katanya. Doa yang sejati bukan dimulai dari lisan, melainkan dari kerinduan dan keheningan hati.

Teresa pernah mengalami banyak penderitaan — sakit fisik, perlawanan dari gereja, dan kekeringan rohani berkepanjangan. Teresa pun mengeluh kepada Tuhan karena penderitaannya. Ia berkata dengan jujur, “Tuhan, jika begini Engkau memperlakukan sahabat-Mu, tak heran jika Engkau tidak punya banyak sahabat.” Namun meski protes, ia tetap setia dalam doa, karena ia tahu: kehadiran Allah lebih nyata dari semua penderitaan.

Melalui doa, Teresa tidak hanya menemukan kekuatan, tetapi transformasi diri — dari seorang yang rapuh menjadi seorang mistikus dan reformator yang tegar. Dalam tradisinya, ’Dia hanya sejauh doa’ bukan klise, melainkan pengalaman langsung: Allah tinggal di dalam jiwa yang membuka diri.

Hendri Nouwen
Henri Nouwen, seorang imam Katolik yang bekerja sebagai dosen di Harvard dan Yale. Meskipun demikian, Nouwen lebih memilih untuk hidup bersama komunitas disabilitas di L’Arche Daybreak di Kanada. Dalam buku The Inner Voice of Love dan Life of the Beloved, Nouwen menggambarkan doa sebagai perjumpaan antara kerapuhan manusia dan kasih Allah yang tak bersyarat.

Bagi Nouwen, doa bukanlah tentang kekuatan spiritual yang mengesankan. Sebaliknya, doa adalah tempat di mana kita membawa luka kita — rasa malu, penolakan, kesepian — dan menempatkannya di hadapan Allah. “Doa bukan untuk menyembunyikan luka kita, tetapi untuk membawa luka itu ke dalam pelukan kasih Allah,” katanya.

Nouwen punya pengalaman doa yang riel. Dia pernah mengalami depresi mendalam, bahkan sampai krisis iman. Saat itu dia merasa hancur, tak layak, dan kehilangan arah. Namun dalam keterpurukan itu, ia tetap berdoa — sering kali dalam keheningan dan tangis. Dan di sanalah ia menemukan kembali bahwa Allah tidak menunggu manusia yang kuat, tetapi yang jujur dan terbuka.

Menariknya, bagi Nouwen, doa bukan soal mendapatkan jawaban, melainkan mengenali bahwa dirinya tetap dicintai, bahkan dalam kejatuhan terdalam. Ketika ia mengurus orang-orang dengan keterbatasan fisik dan mental di komunitas L’Arche, ia semakin sadar bahwa Allah hadir dalam yang lemah, dan doa menjadi jembatan kasih antara manusia untuk saling melayani.

Memang, intisari terdalam dari doa bukanlah communication, tetapi community. Ya, membangun persekutuan kasih dengan Allah dan dengan sesama, terutama yang terpinggirkan, terlupakan dan tertindas. Gereja yang berdoa adalah gereja yang membangun melayani dan mengangkat manusia pada kemanusiaannya.

Allah Menemukan Kita
Dari pengalaman Teresa dan Nouwen, kita belajar bahwa ’Dia hanya sejauh doa’ bukan slogan romantik, tetapi kesaksian hidup dari mereka yang telah melewati gelapnya jiwa dan menemukan terang kasih Allah. Teresa mengajarkan bahwa Allah ada di pusat batin kita — tempat paling dalam dan sunyi. Nouwen menunjukkan bahwa justru doa saat kita luka dan mengalami kerentanan,Allah menemukan dan memeluk kita tanpa syarat. Bagi mereka, doa bukan tentang kehebatan rohani, tetapi kejujuran hati. Dan setiap kali kita masuk ke dalam doa dengan kerinduan, betapapun rapuhnya kita, kita membiarkan Allah menemukan kita kembali. Memang, Allah tidak pernah pergi. Dia sedang menunggu kita. Dia menyapa kita. Dan Dia mau mengutus kita untuk memanusiakan siapa pun yang rapuh. Dia hanya sejauh doa!

 

Oleh : Pdt. Albertus M. Patty


No Replies to "“DIA HANYA SEJAUH DOA”"


    Got something to say?

    Some html is OK