BABEL MEMISAHKAN, PENTAKOSTA MENYATUKAN

“Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.” Seruan Filipus ini dalam Yohanes 14:8 mencerminkan kerinduan manusia yang paling dalam: mengenal makna hidup, menemukan arah, dan merasa dekat dengan Sang Sumber. Tapi Yesus menjawab dengan sebuah teguran lembut: “Sudah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku?”

Ya, sering kita tidak lagi bisa mengenal Tuhan karena kita hidup di zaman yang menyerupai Babel. Terlalu banyak suara. Banyak ambisi. Banyak bahasa. Banyak arah. Namun di tengah kebisingan ini, kita justru semakin jauh satu sama lain—dan sering, semakin jauh dari diri kita sendiri. Bahasa yang dulu dimaksudkan untuk membangun komunitas, kini menjadi senjata untuk membenarkan ego. Informasi melimpah, tetapi pengertian dan kedamaian menjadi langka.

Inilah Babel hari ini: perpecahan yang dibungkus dengan kemajuan, keterasingan di tengah konektivitas, dan hilangnya arah dalam hiruk-pikuk pencapaian. Orang menjadi terasing satu dengan yang lainnya.

Syukurnya, Babel tidak menadi satu-satunya situasi yang kita hadapi. Dalam dunia yang penuh perpecahan ini, Roh Kudus datang seperti pada hari Pentakosta. Dalam Yohanes 14, Yesus tidak hanya menjanjikan Roh Penolong—Ia menjanjikan penyatuan kembali antara Allah dan manusia. Ia berkata, “Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.”

Di sinilah perbedaan paling mendalam antara Babel dan Pentakosta: satu memisahkan manusia dari Allah dan sesamanya; yang lain memulihkan relasi, mengisi hati dengan damai, dan memberi arah baru bagi panggilan hidup kita.

Yesus juga berjanji, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu.” Damai ini bukan sekadar perasaan nyaman atau absennya konflik. Ini adalah damai yang mengakar dalam kesadaran bahwa kita dipanggil dan diutus untuk menjadi pembawa damai dan persatuan di dalam dunia yang terpecah-belah. Kita dipanggil untuk menghadirkan kedamaian di tengah manusia yang hati dan batinnya terkoyak oleh berbagai persoalan dan tantangan

At The Cross Roads
Kita berada di persimpangan, at the cross roads, antara Babel dan Pentakosta. Kita harus memilih: hidup yang dibangun dalam semangat Babel—yang memburu kemuliaan pribadi, yang takut akan kehilangan kendali, yang mencurigai perbedaan?

Ataukah kita membuka diri untuk hidup dalam Roh Pentakosta—yang menghapus sekat-sekat identitas, menyatukan hati yang tercerai, dan memberi damai di tengah ketidakpastian?

Mungkin kita sedang terjebak dalam keraguan dan kebingungan seperti yang dialami Filipus. Kita sering mengalami kesulitan untuk menentukan mana yang harus kita pilih. Ingatlah kata-kata Yesus: “Aku akan meminta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain.” Penolong itu tidak hanya akan membimbing kita memahami hidup, tetapi juga menyalakan kembali panggilan kita untuk menjadi pembawa damai di dunia yang retak ini.

Penutup
Di tengah dunia yang terus membangun Babel demi nama besar dan kuasa, kiranya kita, sebagai pribadi dan sebagai gereja, memilih jalan Pentakosta: jalan penyatuan, damai, dan kesetiaan pada panggilan yang diberikan oleh Sang Penolong. Dunia yang teepecah merindukan penyatuan atas dasar cinta yang tulus.

Hanya dalam Roh Kudus-lah kita dapat benar-benar mengalami kedamaian yang utuh serta membebaskan. Hanya dalam Roh kita mengenal diri, memahami dan mampu menghargai sesama, sambil berjalan bersamaNya dalam cinta.

 

Oleh : Pdt. Albertus M. Patty


No Replies to "BABEL MEMISAHKAN, PENTAKOSTA MENYATUKAN"


    Got something to say?

    Some html is OK