KELUARGA YANG MENOLAK EGOSENTRISME
Dari laman internet, saya membaca cerita berikut. Alkisah, dua orang bersaudara bekerja sama menggarap ladang milik keluarga. Sang kakak telah menikah dan memiliki keluarga, sedangkan adiknya masih lajang dan berencana tidak menikah. Ketika musim panen tiba, mereka selalu membagi hasil sama rata.
Pada suatu hari, si adik yang masih lajang berpikir, “Tidak adil jika kami membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku hidup lajang dan kebutuhanku hanya sedikit.” Maka, setiap malam ia mengambil sekarung padi miliknya dan dengan diam-diam meletakkan karung itu di lumbung milik kakaknya. Sementara itu, si kakak yang telah menikah pun merasa gelisah akan nasib adiknya. Ia berpikir, “Tidak adil jika kami selalu membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku punya istri dan anak-anak yang akan bersamaku sampai lanjut usia. Sedangkan adikku, ‘tak punya siapa-siapa. Siapakah yang akan memperhatikannya nanti? Ia berhak mendapatkan hasil lebih daripada aku.” Karena itu, setiap malam, secara diam-diam, sang kakak pun mengambil sekarung padi dari lumbungnya dan memasukkan ke lumbung adik satu-satunya itu.
Selama bertahun-tahun kedua saudara itu saling menyimpan rahasia, sementara padi di lumbung keduanya ‘tak pernah berubah jumlah. Sampai suatu malam, keduanya ‘tak sengaja bertemu ketika sedang memindahkan satu karung ke masing-masing lumbung saudaranya. Di saat itulah mereka terharu dan saling menangis berpelukan. Mereka menyadari bahwa ada kasih yang selama ini menjaga persaudaraan di tengah mereka. Ketika keduanya saling memperhatikan, justru di sanalah mereka tidak kekurangan.
Saudara, bayangkan ketika komitmen untuk saling memperhatikan ada dalam diri setiap manusia! Mungkin dunia ini akan menjadi jauh lebih baik dari yang kita alami sekarang. Mahatma Gandhi pernah berujar, “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, tetapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah.”
Di tengah kecenderungan kita untuk memikirkan kepentingan diri sendiri dan kelompok, firman Tuhan senantiasa memanggil kita untuk keluar dari egosentrisme yang sempit dan merusak. Tuhan mengajak kita untuk waspada terhadap godaan kekayaan dan hal-hal lain yang membuat kita tidak bertumbuh dalam belarasa dan keadilan pada sesama. Dalam kitab Amos 5:15a dinyatakan, “Bencilah yang jahat, cintailah yang baik, dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang.” Segala bentuk kesalehan ritual yang kita lakukan akan sia-sia tanpa upaya untuk melatih diri dalam kesalehan sosial, dalam upaya untuk berbagi dan memperhatikan hidup sesama.
Menolak egosentrisme dapat dimulai dengan membangun kebiasaan-kebiasaan kecil di tengah keluarga. Orang tua yang meneladankan kepedulian, pasti akan menularkan semangat kepedulian itu pada anak-anak. Di tengah dunia yang semakin egois, tindakan-tindakan penuh ketulusan menjadi pelajaran penting dan amat berharga bagi orang-orang di sekitar kita tentang kasih Allah. Marilah kita berjuang untuk mewujudkannya di tengah-tengah hidup keluarga! Tuhan menolong.
Oleh : Pdt. Bernadeth Florenza da Lopez
Got something to say?