IMAN KSATRIA
Iman dan ketakutan adalah dua hal yang paradoks. Keduanya dialami dalam hidup kita. Kadang ketakutan sangat dominan sehingga mengatasi iman. Pada situasi lain, dengan iman kita berhasil mengatasi ketakutan. Tulisan ini menelisik paradoks itu.
Dalam kasus pertama, kita punya iman, tetapi saat persoalan pelik menghadang, kita seperti orang kesurupan. Ibarat mobil yang tergelincir di jalan basah, kita loss control! Segalanya tidak terkendali. Teriak-teriak tidak keruan. Lari pontang-panting tanpa arah. Kita dikuasai ketakutan. Contohnya dalam kasus murid-murid Yesus yang diuraikan di bawah ini.
Saat Yesus dan murid-murid-Nya berlayar dengan perahu, mereka mengalami angin taufan dahsyat. Ombak menyembur masuk ke dalam perahu. Perahu pun dipenuhi air. Situasi genting! Murid-murid pun ketakutan. Yesus ngapain? Sedang tidur nyenyak! Para murid berteriak kalap membangunkan-Nya. “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”
Yesus pun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Dalam sekejab, angin pun reda. Danau menjadi teduh. Lalu, Yesus memandang mereka yang loyo imannya, dan berkata: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”
Inilah paradoks iman! Tidak seharusnya mereka bersikap seperti itu. Para murid selalu mendampingi Yesus. Mereka melihat dan mengalami berbagai mujizat yang Yesus kerjakan. Tetapi saat mereka mengalami persoalan, keyakinan dan iman mereka pudar total. Lenyap!
Iman Ksatria
Ada paradoks yang sebaliknya. Soren Kierkegaard dalam Fear and Trembling bilang begini. “Kita harus punya “iman ksatria” atau knight of faith”. Orang dengan iman ksatria sadar pada ketakutan dan kelemahannya. Meski demikian, saat menghadapi tantangan sepelik apa pun, ia tetap percaya dan berharap kepada Tuhan. Iman begini, kata Kierkegaard, melampaui logika karena berakar kuat pada kepercayaan total kepada kuasa dan kasih Tuhan.
Saat menghadapi badai, orang yang punya iman ksatria mengarahkan pandangannya kepada Yesus. Orang seperti ini tetap bisa mengontrol dirinya. Tetap tenang. Dia percaya bahwa Allah pasti mampu mengendalikan badai sebesar apa pun dalam hidupnya.
Saya berikan contoh bagaimana iman bekerja di tengah paradoks kehidupan. Pertama, Yesus tidur di tengah badai. Ini paradoks. Bagaimana mungkin Yesus bisa tidur ketika hidup-Nya dalam bahaya? Tidur-Nya menunjukkan ketenangan dan kepercayaan penuh kepada Bapa-Nya. Bagi murid-murid, ini tampaknya tidak masuk akal. Namun, situasi ini mengajarkan kita bahwa dalam iman ada ketenangan dan kedamaian meski di tengah situasi paling menakutkan.
Kedua, saat menenangkan badai, Yesus menunjukkan kuasa Ilahi-Nya. Para murid terkagum-kagum. Tetapi Yesus tidak butuh dikagumi. Yang Yesus butuh iman. Yesus menuntut keyakinan para murid-Nya agar di tengah situasi yang nampaknya tidak terkendali, iman mereka tetap teguh. Para murid harus melakukan introspeksi diri dan melihat ketakutan mereka melalui lensa iman.
Iman sejati mengatasi logika manusia. Iman yang sejati percaya bahwa Yesus sebagai sumber keselamatan akan selalu menolong kita bahkan ketika situasi nampaknya mustahil dan tidak terkendali. Inilah iman yang mengatasi rasionalitas dan logika apa pun.
Iman seperti ini dimiliki Ayub di tengah penderitaan yang menghantamnya bertubi-tubi. Iman seperti ini memenuhi Paulus di saat tantangan berat menghadangnya. Inilah iman berkemenangan. Inilah yang Kierkegaard namakan: iman ksatria!
Bandung
17 Juni 2024
Oleh : Pdt. Albertus M. Patty
Got something to say?