SESAMA ITU ADA DI SEKITAR KITA
Siapakah orang Kanaan ?
Pdt. Martin Kristanto (Sekretaris Umum BPMSW GKI SW Jatim) menulis pada rancangan kotbah di buku Dian Penuntun, perihal Kanaan, demikian :
- Kanaan melahirkan bangsa-bangsa Sidon, yang dikatakan sebagai anak sulung. Sidon terletak di utara Israel, di daerah Fenisia. Kanaan adalah keturunan dari Ham (anak kedua Nuh)
- Mengutip pendapat Cassuto, Kanaan adalah musuh orang Israel kuno, dan ingin agar Kanaan itu menjadi taklukan Israel. Kini bangsa Palestina, yang perlu didesak keluar agar digantikan oleh bangsa Israel Baru.
- Berkaitan dengan ketegangan antara Yahudi dan Kanaan, terlihat dari sikap para murid, yang meminta perempuan Kanaan itu menjauh dari mereka. Selain membuat kegaduhan, memang tidaklah pantas bagi orang Kanaan menyapa apalagi meminta tolong kepada orang Yahudi.
Hal yang membuat kita kurang nyaman, ketika Yesus memisalkan umat Israel dengan sebutan “anak-anak” dan perempuan Kanaan dengan sebutan “anjing” (kata kuon atau kunos dalam bahasa Yunani, yang berarti anjing liar). Sebutan “anjing” umumnya digunakan untuk memberi pembedaan atau penghinaan orang-orang di luar dirinya.
Perjuangan Iman Perempuan Kanaan
Jadi kita bisa menyelami perjuangan seorang ibu dari Kanaan yang ditulis Injil Matius 15:21-28. Ada 2 aspek yang menentukan dalam iman ibu Kanaan itu :
- pertama, kenyataan bahwa ia seorang yang sungguh rendah hati, sekalipun dianggap tak layak dan tak pantas untuk menghampiri dan meminta tolong kepada seorang rabi Yahudi.
- Kedua, kenyataan bahwa dia adalah pribadi yang memiliki ketekunan. Dia mendatangi Yesus memohon pertolongan-Nya, meminta kemurahan-Nya, sambil menyembah-Nya. Yang lebih menyentuh hati adalah, bahwa perempuan ini mengakui posisinya yang lebih rendah ketimbang orang Yahudi dalam rencana keselamatan Allah. Ia tidak mundur dan putus asa oleh pandangan (stigma) negatif para murid. Semangatnya tidak surut bahkan oleh jawaban Yesus yang terasa menyakitkan. Semua yang kelihatan sebagai penghalang malah membuat dirinya semakin dekat dengan Yesus. Malah, mungkin dia jauh lebih tahu siapa Yesus, dibanding para ahli Taurat dan kaum Farisi (Matius 15:1-20) sekalipun sebagai umat Allah, tetapi telah tersesat. Ibu Kanaan itu tulus menyapa Yesus dengan sebutan Kyrios (Tuan, Tuhan) dan anak Daud, yang sangat kental bernada Yahudi.
Membangun Jembatan Kasih
Mungkin kita merasa terganggu dengan 2 perkataan Tuhan. Pertama, “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Matius 15:24) Kedua, “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Matius 15:26) Suatu kalimat yang terkesan tak bersahabat dan menyakitkan.
Sebenarnya, Yesus bicara apa adanya, yang oleh kalangan bukan Yahudi, kata-kata itu kerap mereka dengar. Stigma negatif sudah biasa dilakukan kaum Yahudi kepada mereka yang bukan Yahudi. Merasa sebagai satu-satunya Bangsa Pilihan yang diselamatkan telah begitu melekat pada diri kaum Yahudi, namun itulah yang sebenarnya membutakan mereka akan kehadiran Sang Mesias. Yesus berada di depan mata mereka, tetapi justru ditolak bahkan dibunuh dengan cara hina.
Disadari atau tidak, sebenarnya para murid pun merasakan superioritas itu. Bukan hanya ketika masih bersama-sama Yesus, malah setelah Yesus naik ke surga pun, para murid, merasa bahwa hanya orang Yahudilah yang pantas dilayani. Kisah Rasul 10 memperlihatkan cara berfikir yang sempit dari para murid, yang diwakili Petrus. Berbagai cara Tuhan membuka cara pandang Petrus, bahwa setiap orang dari bangsa manapun punya hak untuk menerima dan mengalami kasih Tuhan. Sampai akhirnya Petrus menyadari hal itu dan berkata, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Rasul 10:34-35)
Malah, kaum agamawan yang diwakili orang Farisi dan para ahli Taurat, memperlihatkan sempitnya cara pandang mereka tentang kehendak Allah. Mencuci tangan yang hanya sebagai bagian dari adat istiadat dianggap kehendak Tuhan, sehingga dari itu mereka bisa memghakimi mereka yang tak mencuci tangan sebelum makan disebut najis, haram dan kotor (tame, dalam bahasa Ibrani), tidak layak untuk beribadah kepada Tuhan.
Kaum agamawan tidak bisa membedakan antara perintah Allah dan adat istiadat, sampai Tuhan berkata, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari padaku.” Mereka menganggap dirinya Bangsa Pilihan yang diselamatkan, tetapi justru kelakukan mereka jauh dari kehendak Tuhan.
Bila kita asumsikan bahwa Yesus mengetahui isi hati perempuan itu dan juga para murid, jadi tidak berlebihan jika perkataan Tuhan sebenarnya ingin mengkritik kaum agamawan, sekaligus menegur para murid. Seorang perempuan Kanaan yang dianggap asing dan bahkan kafir itu justru memiliki kerendahan hati, dan dengan tulus menyebut Yesus sebagai Kyrios dan anak Daud. Jawaban Yesus atas permohonan perempuan itu memperlihatkan jati diri-Nya sebagai Mesias bagi seluruh bangsa, “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” (Matius 15:28)
Kasih-Nya begitu besar kepada seluruh umat manusia. Ia tidak membatasi pelayanan-Nya hanya kepada satu kaum. Melalui jawaban-Nya itu, Ia sebenarnya sedang membangun jembatan kasih. Bahkan tembok-tembok yang dibangun oleh stigma, yang memisahkan relasi antara kaum di seluruh dunia, diruntuhkan Tuhan. Bahwa setiap bangsa memang berbeda. Itu tidak bisa dipungkiri. Adat istiadat, budaya, cara pandang, dsb. Tetapi perbedaan itu tidak boleh mengkerdilkan dan menyempitkan cara pandangan kita. Atau dengan kata lain, berbeda boleh tetapi tidak menimbulkan sikap membedakan. Kasih itu harus diejawantahkan (diwujudkan). Sebab dengan begitu, semua bangsa dapat mengenal dan mengalami kasih Allah.
Sesama itu ada di sekitar kita
Pelayanan kasih seringkali hanya tertuju kepada mereka yang jauh di sana! Kita membawa sejumlah barang atau materi tertentu. Sesama itu tidak hanya mereka yang membutuhkan pertolongan dalam bentuk karitatif semata. Sesama itu juga adalah mereka yang membutuhkan perlakuan setara dari diri kita. Mereka itu ada di sekitar kita, yang berada di dalam dan sekitar pagar gereja.
Kita bersyukur, teknologi canggih telah menyatukan semua orang dari manapun. Bahkan yang beribadah di gereja, tidak lagi hanya dari satu kaum. Boleh dikata, seluruh kaum memiliki kerinduan dan, seperti perempuan Kanaan itu, ingin juga merasakan pertolongan Tuhan. Mungkin mereka masih merasa asing, dilihat sebelah mata, masih menerima stigma negatif, merasa tersingkirkan, entah karena perbedaan status sosial, ekonomi atau pendidikan. Pelayanan kita harus menyentuh mereka. Sebab, seperti Tuhan yang berkata, “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki“, maka melalui pelayanan kasih yang nyata, kita perlu menyambut mereka dengan tangan terbuka. Dengan begitu, kasih Tuhan benar-benar telah kita wujudkan.
Oleh : Pdt. Wee Willyanto
Got something to say?