MENJARING ANGIN?
Istilah “Menjaring Angin” pada umumnya merujuk kepada sebuah tindakan yang sia-sia. Sebab, angin bukanlah sesuatu yang dapat dijaring, dipegang atau ditangkap oleh manusia. Ia tidak memiliki bentuk, warna dan bisa pergi kemanapun tanpa dapat dideteksi atau diperkirakan. Maka jelaskah kegiatan “Menjaring Angin” merupakan sebuah hal yang hanya menghabiskan waktu dan tenaga, dan menjadi sebuah kesia-siaan belaka.
Namun sekarang ini banyak orang yang merasa bahwa seumur hidup mereka seperti “Menjaring Angin”. Mereka melakukan banyak hal, bekerja dengan sangat keras, tetapi tidak menghasilkan sesuatu yang bermakna atau berarti. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dibuat oleh LinkedIn, sebuah jejaring sosial yang berfokus kepada pekerjaan yang mengungkapkan bahwa 59% dari orang-orang yang berusia 25-33 tahun merasa bahwa mereka tidak yakin dengan apa yang mereka kerjakan, 49% merasa bahwa mereka bekerja dengan sangat keras namun tidak mendapatkan hasil yang pantas, 44% merasa bahwa mereka stuck di dalam kehidupan mereka sehari-hari dan tidak mengalami perkembangan berarti.
Maka tidak mengherankan banyak orang yang kemudian menyerah. Mereka tidak sanggup menghadapi beratnya tekanan yang ada, dan memilih untuk mengurung diri di dalam rumah/kamar mereka. Itulah zona aman mereka. Di negara Jepang, orang-orang ini disebut sebagai hikikomori. Diperkirakan ada satu juta orang-orang yang seperti ini. Yang lebih mengkhawatirkan, fenomena hikikomori ternyata semakin banyak ditemukan di seluruh dunia.
Tentu ini adalah sebuah kondisi yang tidak ideal. Banyak orang yang bekerja dengan sangat keras, tetapi merasa tidak mendapatkan apa-apa. Segala macam usaha, kreativitas, serta lika liku perjalanan sudah ditempuh, namun hasilnya tidak seperti yang dipikirkan. Jika seandainya pun mereka berhasil naik tingkat dan mendapatkan banyak materi, hal-hal tersebut dirasa belum cukup. Garis akhir yang dikira sudah sangat dekat, tetapi justru dirasakan semakin menjauh, dan membuat banyak orang frustasi serta kehilangan harapan.
Inilah yang dirasakan oleh Sang Pengkhotbah. Ia memang sudah memiliki segalanya dalam standar dunia. Segala kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh berada di bawah kaki tangannya. Namun, Pengkhotbah merasa bahwa ia seperti menjaring angin. Ia mengejar begitu banyak hal di dalam kehidupannya, namun dalam prosesnya ia justru merasa bahwa segala sesuatu yang dikerjakan adalah sebuah kesia-siaan. Alih-alih percaya kepada Tuhan yang telah memberkatinya dengan berlimpah, Pengkhotbah justru mengikuti kebiasaan dunia, percaya bahwa ia akan mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan sejati lewat hal-hal yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Mengira jika ia memiliki itu semua, maka ia akan menemukan makna kehidupan. Namun Pengkhotbah terlambat mengetahui bahwa mencari makna melalui kelimpahan dan kekayaan dunia hanyalah menjaring angin semata. Sebuah kesia-siaan! Ia sama sekali tidak merasa bahagia. Sebaliknya, ia merasa selalu kekurangan, dan kegelisahan yang tiada habisnya.
Maka apa yang harus dilakukan? Dari sini, kita bisa belajar bahwa hendaknya kita tidak menaruh keseluruhan makna hidup kita pada hal duniawi semata, sebab segala sesuatunya dapat hilang dengan begitu cepat. Namun marilah menaruh kebahagiaan dan makna hidup kita kepada Tuhan dan pada hidup yang dipenuhi akan pelayanan karya terhadap sesama. Hal ini selaras dengan Injil Lukas yang menulis kata “hidup” dalam bahasa Yunani kuno zoe. Kata zoe disini bukan hanya tentang hidup secara fisik, tetapi hidup yang berkualitas. Zoe yang selalu dipenuhi dengan pertobatan, dan kembalinya manusia ke dalam cinta kasih Allah yang hangat. Lalu, diwujud-nyatakan dalam relasi kasih mendalam bersama orang-orang di sekitarnya.
Dalam titik inilah manusia menemukan makna kehidupan. Bahkan, dalam badai kehidupan yang paling dahsyat sekalipun, manusia tetap bisa merasakan kebahagiaan dan sukacita. Makna kehidupan yang sesungguhnya bukan diletakkan pada hal-hal yang dapat hilang dalam sekejab seperti angin, tetapi dalam Tuhan yang hadir didalam hati kita. Dia yang memberikan kebahagiaan. Memberikan kedamaian. Memberikan ketenangan dalam setiap keadaan. Dalam Dia, yang juga memerintahkan kita untuk meneruskan kasih dan damai-Nya kepada setiap manusia yang membutuhkan sentuhan tangan-Nya.
Oleh : Pdt. Zeta Dahana
Got something to say?